jabarekspres.com, BANDUNG – Isu Suku Ras Agama dan Antargolongan (SARA) masih menjadi alat efektif untuk menggiring opini publik dalam kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Penyebaran gagasan dan propaganda dari satu kelompok atau golongan pada masyarakat luas saat ini sangat mudah dilakukan dengan menggunakan media online dan sosial media. Hal ini diungkapkan pengamat media sosial Hendra Hendarin dalam diskusi publik Meja Indonesia di Bandung, kemarin (25/4).
Menurut dia, masyakat harus waspada terhadap penggorengan isu SARA menjelang Pilkada. Dia memberi contoh, polemik isu SARA di Pilkada Jakarta bukan hanya menimbulkan efek untuk masyarakat DKI. Namun, berdampak luas bagi daerah lainnya. Situasi seperti itu yang berbahaya bagi masyarakat Indonesia.
Data setara institute menunjukan peristiwa intoleransi terbanyak adalah Jawa Barat dan DKI Jakarta. Yakni, ada sekitar 41 kejadian intoleransi terjadi di daerah tersebut.
Menurut dia, fenomena Pilkada Jakarta menjadi sangat luar biasa untuk menghadirkan konflik di masyarakat. Tentunya metode intoleransi memungkinkan di Jawa Barat digunakan kembali untuk mencapai toleransi.
Perwakilan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Adi Marsiela mengatakan, isu SARA menjadi alat yang sangat efektif untuk dimainkan dalam kontestasi politik.
”Media alternatif dianggap sebagai alat terbesar dalam menyebarkan isu sektarianisme. Hal ini dimanfaatkan dalam perpolitikan di Indonesia,” tuturnya.
Adi menjelaskan, lembaga pers pun bisa dimanfaatkan menjadi media untuk menebarkan isu SARA. Di situlah peranan jurnalis untuk tetap independen.
Menurut dia, isu SARA sangat efektif dalam meningkatkan popularitas dan elektabilitas. Sehingga mampu mempengaruhi keputusan dalam memilih calon pemimpin daerah.
Adi menekankan, kemungkinan besar isu SARA akan terjadi di Pilkada Jawa Barat.
Dosen antropologi Universitas Padjajaran Dr Selly Riawanti SS MA memaparkan, bahwa untuk meningkatkan rasa kebangsaan salah satunya toleransi. Yaitu dengan memasukan nilai-nilai torelansi pada kurikulum pendidikan di Indonesia.
”Toleransi bukan hanya untuk orang dewasa, namun penanaman pendidikan toleransi harus dimulai sejak dini. Sehingga ketika dewasa mereka sudah paham bagaimana menghadapi sikap-sikap yang intoleransi. Nantinya ini berdampak pula dalam menanggapi pekan demokrasi seperti Pilkada hari ini,” pungkasnya. (mg2/fik)