Fenomena pernikahan anak sangat sulit untuk diberantas karena kultur dan perekonomian di Indonesia memungkinkan hal itu. Di beberapa daerah minus di Jawa Barat, anak perempuan dianggap sebagai beban keluarga. Ketika dia menikah, maka berkuranglah beban keluarga. Satu anak perempuan menikah, berkuranglah beban satu piring nasi!
Karena belum siap, kelak si anak akan terjebak dalam kondisi kemiskinan seperti orang tuanya. Lagi-lagi kalau punya anak perempuan akan mengalami nasib seperti ibunya. Begitu seterusnya sehingga fenomena itu sangat sulit untuk diputus. Mayoritas pernikahan anak berujung pada kehidupan buruk. Namun, ada beberapa kasus pelakunya berkembang menjadi orang yang sukses. Salah satunya adalah Nihayatul Wafiroh, anggota DPR RI dari fraksi Partai Kebangkitan Bangsa.
Meski menjadi orang sukses sekarang, perempuan asal Bangkalan itu menegaskan bahwa pernikahan usia anak bukanlah pilihan yang tepat. Karena itu, dia sangat aktif melakukan kampanye untuk mencegah hal itu. ”Saat kuliah, anak saya sudah 15 bulan,” kata Ninik saat dihubungi Jawa Pos (Jabar Ekspres Group).
Ibu dari Ahmad Kavin Adzka dan Muhammad Aqil Mirza itu menuturkan, tidak ada keterpaksaan terkait ekonomi maupun hal lain. Dia menikah dini karena tradisi di lingkungannya. ”Saya sendiri merasakan secara psikologis tidak siap,” ujarnya.
Pengalaman pribadi itu yang dibawa oleh Ninik untuk memperjuangkan pentingnya menghindari proses pernikahan dini. Saat masih menjadi aktivis hingga kini menjadi anggota dewan, Ninik terus aktif memperjuangkan hak perempuan dan anak. (bil/bay/ang/rie)
”