Tama menjelaskan, terkait dengan pengawasan hakim, sebenarnya KY pernah mempunyai wewenang. Yaitu, setelah Akil ditangkap KPK. Kala itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Penyelamatan MK. Selanjutnya, DPR dan pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 4/2014 tentang MK.
Tapi, undang-undang tersebut akhirnya dibatalkan MK melalui judicial review atau peninjauan kembali. Setelah itu, tidak ada lagi lembaga yang mengawasi MK. Lembaga tinggi negara itu bekerja tanpa pengawasan. Padahal, tutur dia, pengawasan sangat penting dilakukan agar hakim bekerja sesuai dengan tugasnya.
Tama menambahkan, jadi politikus boleh saja menjadi hakim MK. Asalkan sistem rekrutmennya bagus. Tidak seperti sekarang ini yang masih berpeluang disusupi orang-orang yang tidak mempunyai latarbelakang baik.
Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie mempunyai pendapat berbeda. Dia menentang keras bila ada politikus yang dijadikan hakim MK. ’’Kalau mau politikus, syaratnya dia harus sudah berhenti berpolitik minimal selama lima tahun. Sama seperti KPU,’’ tegasnya.
Yang terjadi saat ini, seorang politikus bisa menjadi hakim MK dan baru mundur dari dunia politik sehari atau bahkan lima menit jelang pelantikan. Kondisi itu membuat dia masih memiliki kepentingan dengan kelompoknya, sehingga tidak bisa disebut sebagai negarawan. Kepentingan politik bisa merusak lembaga tempat dia bekerja. (lum/byu/jun/rie)