Usianya masih belia, baru 18 tahun. Tapi, jumlah penghargaan yang diraih Natasha Johana Dematra dari mancanegara sudah lebih dari seratus. Pertengahan November lalu, film pendeknya yang berjudul Bumiku diputar di Konferensi Perubahan Iklim Dunia PBB.
JUNEKA SUBAIHUL MUFID, Denpasar
Oh duniaku
Oh bumiku
Oh pohonku kini mulai menghilang
Es yang mencair mengingatkan kita pemanasan global
SUARA lirih Natasha Johana Dematra mengiringi potongan-potongan video kondisi bumi yang rusak. Es mencair, pohon tumbang, tumpukan sampah di sepanjang aliran sungai, hingga kebakaran hutan Pesan yang ingin disampaikan dalam film musik pendek berdurasi lima menit itu cukup kuat. Perubahan iklim sudah berada di depan mata. Dan apa yang harus kita perbuat?
”Ini lho yang akan terjadi kalau kita tidak peduli dengan bumi. Makanya ayo peduli. Menanam,” tutur Natasha, lantas menyeruput teh hangat. Dara kelahiran Jakarta, 9 April 1998, tersebut begitu antusias bila diajak berbincang ringan soal alam, kemanusiaan, dan film. Sambil menikmati sarapan roti dan teh hangat di sebuah hotel berbintang di Bali pagi akhir November lalu, Natasha bercerita soal film musik pendeknya yang berjudul Bumiku.
Film itu diputar di United Nations Climate Change Conference di Marrakesh, Maroko. Konferensi perubahan iklim yang diadakan PBB tersebut berlangsung 7-18 November 2016. Dia tidak bisa hadir langsung. ”Saya diwakili film saya,” ujar Natasha, lantas tertawa. ”Sambutannya bagus di Maroko,” imbuh perempuan berambut panjang itu.
Berbicara tentang film, Natasha selalu mencari tema-tema yang menginspirasi. Temanya bisa apa saja. Mulai soal kemanusiaan hingga alam. ”Kalau aku bikin film dan tidak menginspirasi, buat apa? Bawaannya kayak gak ada gunanya,” ujar putri sutradara dan penulis Damien Dematra tersebut.
Film Bumiku itu hanya menjadi salah satu anak tangga yang sedang ditapaki Natasha dalam perjalanan hidup sebagai seorang seniman. Dia sudah bermain di beberapa film seperti L4 Lupus pada 2010, Dream Obama (2011), I’m Star (2013), Let’s Play, Ghost (2013), Tears of Ghost (2015), dan From Seoul to Jakarta (2015). Natasha lebih nyaman disebut sebagai seniman daripada artis. ”Artist yang pakai st itu,” ucapnya.