Belajar di sekolah darurat pun tentu tak sebaik di sekolah. Sebab, segalanya serba terbatas. Buku pelajaran pun, seluruhnya fotokopian. Buku pelajaran asli, terendam di sekolah.
Fotokopian itu sendiri, bagian dari inisiatif gurunya. ”Sengaja dipersiapkan kopiannya agar dalam situasi seperti ini, anak-anak tetap bisa belajar,” kata Amelia Oktaviana, guru SDN 7 Dayeuhkolot.
Alisa terlihat berusaha fokus merangkai masa depan di sekolah darurat. Agak murung, karena tidak ada satu pun teman dari 30 siswa/siswi di kelasnya yang ikut belajar. ”Rata-rata orangtua menghubungi anak mereka tidak bisa sekolah karena rumah mereka kebanjiran,” ucap Amelia.
Dia mengatakan, Alisa hanya satu-satunya yang konstan ikut belajar di sekolah darurat. ” Sudah seminggu tidak masuk sekolah. Saya khawatir ketinggalan terlalu banyak materi pelajaran. Apalagi, dua pekan lagi ujian akhir semester akan dimulai,” ungkap Alisa.
Amelia Oktaviana menjelaskan, keseluruhan ada 197 siswa SDN 7 Dayeuh Kolot. Sebenarnya, kata dia, para guru hadir semuanya dan menunggu kehadiran para siswanya.
”Kalau sudah begini, kami maklum. Soalnya perjalanan mereka ke sekolah juga berbahaya karena harus lewat banjir. Rumah mereka juga terendam. Padahal ya, sebentar lagi mau ujian,” jelasnya.
Dia pun mengatakan, sejak seminggu lalu, kegiatan belajar di sekolahnya terganggu. Para guru khawatir hambatan bencana ini akan berpengaruh pada prestasi para muridnya di sekolah. Namun, pihaknya telah terbiasa dengan banjir saat menggelar berbagai ujian sekolah.
Sekolah lainnya, SDN 10 Dayeuhkolot terendam banjir sampai ketinggian 1,5 meter di halamannya. Biasanya, para muridnya belajar di Masjid Argadinata. Namun kini, masjid tersebut dijadikan lokasi pengungsian sehingga kegiatan belajar-mengajar pun tidak dilaksanakan. (yul/rie)