Special Preview Setan Jawa sebelum ke Melbourne

Menurut Garin, fenomena mistis atau magic realism seperti pesugihan itu masih aktual bagi masyarakat sekarang. ”Film ini bicara mistis dalam tataran seni. Bukan bicara tentang ketakutan,” ujar sineas kelahiran Jogjakarta, 6 Juni 1961, tersebut.

Mengapa dibuat film bisu, menurut dia, lahir dari realitas kehidupan. Garin menjelaskan, dalam kehidupan, komunikasi verbal (dengan kata-kata) hanya memegang peran 15-20 persen. ”Selebihnya, 80-85 persen, yang bermain adalah ekspresi dan bahasa tubuh. Nah, film bisu mewakili itu,” papar Garin, sutradara sekaligus produser film yang didukung Bakti Budaya Djarum Foundation tersebut.

Seting awal abad ke-20, menurut Garin, merupakan konsep waktu yang menarik untuk dieksplorasi. Memungkinkan film itu bergerak di antara perspektif tradisi dan kontemporer.

”Film ini merupakan eksplorasi seni lintas batas, bukan hanya tari tradisi, (tapi juga, Red) sastra, seni rupa, seni musik, hingga sensualitas,” terangnya.

Garin mengungkapkan, film bisu hitam putih Nosferatu (1922) dan Metropolis (1927) yang membuatnya jatuh cinta turut mengilhami penciptaan karya tersebut. Pengambilan gambar dilakukan di Solo dan Jogjakarta. Rumah Garin di Jayeng Prawiran, Jogja, yang merupakan rumah Jawa klasik juga dipakai sebagai lokasi syuting.

Film itu menampilkan Asmara Abigail sebagai Asih, Heru Purwanto (pemeran Setio), dan Luluk Ari sebagai Setan Jawa. Bagi Asmara yang pendatang baru di dunia akting, bermain di film bisu hitam putih karya Garin merupakan pengalaman yang sangat berharga. Terlebih, perempuan ayu 24 tahun itu berkesempatan diajari langsung oleh para maestro tari saat workshop sebelum proses syuting.

”Syutingnya sangat menyenangkan. Selama satu minggu lancar. Energi dan jiwa terasa melebur. Semoga penonton juga bisa merasakan keindahannya,” ujar gadis yang berlatar tari flamenco, tango, dan pole dance itu, lantas tersenyum.

Komposisi musik untuk film Setan Jawa digarap sang maestro gamelan Rahayu Supanggah. Sebelumnya seniman kelahiran Boyolali 67 tahun silam tersebut berkolaborasi dengan Garin sejak Opera Jawa (mulai 2005). Pria yang akrab disapa Pak Panggah itu menyatakan sudah paham karakter Garin.

”Garin ini edan. Selalu ada saja ide-idenya yang aneh-aneh. Sekarang bikin film bisu dengan iringan gamelan. Awalnya kalau dipikir, siapa yang mau nonton,” ucap pria yang mendapatkan penghargaan komposer terbaik dalam Festival Film Asia Pasifik tersebut, lantas terkekeh.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan