Adityayoga, Sosok di Balik Logo HUT ke-71 RI

Akhirnya, diajukan sekitar enam karya yang tergolong nyaman untuk dilihat secara visual. Dari karya-karya yang diajukan, istana menyetujui karya Aditya tadi, salah satu yang terbilang cukup simpel.

Desain tersebut menyisakan ruang cukup luas dalam lingkaran. Baik di depan angka 7 maupun di belakang angka 1. Itu memang sengaja dilakukan untuk memberi masyarakat ruang berkreasi mengisi ruang lingkaran. ”Batik bisa, motif lainnya bisa, foto Indonesia, Borobudur, dan sebagainya bisa,” lanjut pria kelahiran 30 April 1980 tersebut.

”Tawaran” itu pun seperti langsung disambut publik. Melalui mesin pencari yang dibukanya di salah satu iMac di meja kerjanya, Aditya menunjukkan kepada Jawa Pos beragam ”varian” karyanya tersebut. ”Bahkan, ada yang memodifikasinya menjadi bentuk palu arit hahaha,” ucapnya. Tapi, Aditya tak marah karyanya diperlakukan demikian. Bagi dia, itu bentuk candaan dari pihak-pihak yang mengapresiasi karyanya.

Sikap legawa tersebut terbentuk dari pengalaman panjang menggeluti dunia desain. Berayah seorang arsitek, kecintaan Aditya pada dunia gambar dan visual diawali dari seringnya sang ayah mengajaknya berkenalan dengan dunia seni.

Taman Ismail Marzuki termasuk yang paling sering dia kunjungi bersama sang ayah. Aditya pun jatuh cinta dengan dunia ”olah rasa” tersebut. Karena itulah, dia memilih Institut Kesenian Jakarta (IKJ) sebagai tempat menimba ilmu desain. Di IKJ Aditya mengambil studi desain grafis. Dia pun makin menikmati dunia desain dan berkomunikasi dengan masyarakat lewat desain yang dia hasilkan.

Karya-karya Aditya sudah cukup banyak. Selain desain I -lambang garuda- RI, ada desain-desain produk maupun logo perusahaan yang dia bikin. Termasuk desain bungkus salah satu merek makanan ringan yang dulu menjadi favoritnya, Chiki Balls.

Desain I -lambang garuda- RI dia tuangkan dalam kaus terinspirasi dari brand I -tanda love- NY yang merepresentasikan New York. Tidak terhitung pula karyanya yang dibajak.

Pernah ada sebuah organisasi yang ingin membeli hak cipta desainnya secara resmi, tapi dia tolak. Ujung-ujungnya, desain tersebut dibajak. Aditya memang tidak menjadikan desain semata sebagai sebuah karya visual. Tapi juga problem solving atau solusi permasalahan. ”Ketika desain tidak bisa membuat orang bergerak, maka tidak bisa disebut desain,” ucapnya.

Tinggalkan Balasan