Sekretaris Kabinet Pramono Anung menambahkan, salah satu sektor yang banyak disorot adalah industri film. Salah satunya bioskop. Dia mengatakan, selama ini hanya ada 1.117 layar bioskop di Indonesia dan yang bisa mengakses sekitar 13 persen penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut, 87 persen layar ada di Pulau Jawa dan 35 persennya di Jakarta.
Menurut Pramono, selama ini industri distribusi film di Indonesia terjebak dalam oligarki karena hanya dikuasai tiga atau empat pemain. Karena itu, dikeluarkannya industri bioskop dari daftar DNI diharapkan bisa memicu investasi besar sehingga jumlah layar bisa naik signifikan dan dapat diakses lebih banyak masyarakat. ”Ini juga penting untuk menumbuhkan industri perfilman nasional,” ucapnya.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani menambahkan, bidang usaha perfilman mendapat perhatian khusus karena masuk industri kreatif yang getol dikembangkan pemerintah. Karena itu, pemerintah juga tengah menuntaskan aturan yang mewajibkan bioskop memutar film Indonesia minimal 65 persen dari total jam pertunjukan. ”Dengan begitu, akan makin banyak film yang diproduksi di dalam negeri,” ujarnya.
Franky mengakui, bidang-bidang usaha tersebut dilonggarkan selain bertujuan menguatkan pasar domestik, juga karena sudah banyak investor yang antre. ”Misalnya, untuk industri bahan baku obat, bioskop, cold storage, itu banyak yang antre mau masuk, ada dari Amerika, Jepang, Singapura, Korea, dan negara lain,” ujarnya.
Terkait adanya tudingan bahwa pelonggaran DNI merupakan bentuk liberalisasi pasar, Pramono Anung membantah. Menurut dia, kebijakan itu lebih tepat disebut sebagai modernisasi ekonomi untuk memunculkan usahawan dan inovator baru serta meningkatkan daya saing Indonesia di skala regional dan global. ”Sebab, untuk pelaku usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, pemerintah tetap memproteksi,” katanya.
Darmin Nasution menambahkan, proteksi terhadap pelaku usaha UMKM dan koperasi itu dilakukan dengan menetapkan batas minimal investasi atau kekayaan aset bersih Rp 10 miliar. ”Artinya, kalau asing mau masuk ke bidang usaha yang sudah dilonggarkan atau dibuka, tapi investasinya di bawah Rp 10 miliar, tidak boleh,” jelasnya.
Bagaimana tanggapan pelaku usaha? Direktur Eksekutif Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi Dorodjatun Sanusi menyambut gembira lantaran pemerintah akhirnya mengakomodasi usulan GP Farmasi untuk membuka 100 persen sektor hulu. Sebab, selama ini ketergantungan terhadap bahan baku impor masih sangat tinggi. ”Sekitar 90 persen masih impor. Jadi, kami perlu tambah investasi di sektor hulu,” ujarnya.