Konsil Kedokteran Indonesia Bambang Supriyatno menambahkan, apa yang terjadi selama ini merupakan ketidaktahuan para dokter. Menurut dia, pendidikan berkelanjutan yang selama ini kerap didanai dari sponsorship perusahaan farmasi tetap harus dijalankan. ”Sebab itu jalan untuk menambah ilmu bagi para dokter,” terangnya. Apalagi selama ini pemerintah tidak memiliki anggaran khusus untuk menunjang pendidikan berkelanjutan para dokter seperti yang selama ini disponsori perusahan farmasi.
Bambang mengatakan untuk sekali mengikuti seminar saja, biasanya dokter harus mengeluarkan uang minimal Rp 3 juta. Sekali mengikuti seminar itu, dokter akan mendapatkan 5 poin. Dalam kurun 5 tahun mereka harus mengumpulkan 250 poin. Kalau tidak mereka bakal mendapatkan sanksi mencabutan izin praktik.
Pahala Nainggolan mengungkapkan kebijakan larangan pemberian sponsor secara langsung itu hanya satu dari empat hal potensi gratifikasi dalam profesi dokter. ”Ini bagian yang terkecil saja, ada persoalan lain yang masih belum bisa kami temukan formula pencegahanya,” ujarnya.
Beberapa potensi gratifikasi itu antara lain terjadi pada biaya promosi obat-obatan ke para dokter. Selain itu, ada juga praktek endorsement yang dilakukan perusahaan farmasi terhadap dokter senior. Biasanya hal ini terjadi pada pengenalan obat-obat baru. ”Ada juga gratifikasi yang terkai alat kesehatan. Modusnya kadang pasien dipaksa USG padahal sebenarnya tidak perlu,” jelas Pahala. (gun/agm/rie)