Soedomo mengakui, lama-lama cara itu berisiko mengurangi serapan tenaga kerja sehingga berdampak pada pendapatan masyarakat, tingkat konsumsi, dan pertumbuhan ekonomi. Namun, menurut dia, itu merupakan tugas pemerintah untuk mendatangkan investor yang lebih banyak lagi.
Soedomo mengatakan, selama ini kemudahan investasi tidak merata ke daerah. Dia pernah punya pengalaman buruk dalam bertanam modal. Dia dipersulit dalam hal pembebasan lahan. Belum lagi menghadapi masyarakat yang suka mencuri hasil pertanian di daerah. Dia juga pernah mendatangkan investor asal Tingkok ke sebuah daerah miskin di kawasan Nusa Tenggara, tapi tidak berjalan mulus lantaran banyak kesulitan di tingkat pemda maupun masyarakat sekitar.
Padahal, niat Soedomo tidak sekadar investasi. Lebih dari itu, dia ingin memakmurkan dan meningkatkan perekonomian warga yang kebanyakan masih miskin. ”Kalau kami pengusaha mau gampang, tinggal bikin aja karaoke di Surabaya, untungnya sama dengan bikin pabrik di daerah. Tapi, kan kami mau membantu rakyat miskin di daerah supaya maju,” ungkapnya.
Hal-hal seperti itulah yang membuat daerah sulit mendapatkan investor. Padahal, jika pemda dan masyarakat di daerah mau bekerja sama dengan investor, serapan tenaga kerja di Indonesia akan lebih baik. Itu baru investor dalam negeri saja. Jika sikap kooperatif itu bisa menarik investor asing, hasilnya akan lebih baik.
Apalagi, Indonesia menargetkan pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen. Menurut Soedomo yang juga konsul kehormatan Republik Polandia di Surabaya itu, pemerintah harus mewaspadai harga komoditas yang masih jatuh. Harga CPO, minyak, dan batu bara yang rontok akan cukup menghambat laju pertumbuhan ekonomi. Solusinya, pemerintah harus mampu memberikan kemudahan nyata kepada investor supaya serapan tenaga kerja tinggi dan ekonomi bergerak.
Tahun lalu, kata Soedomo, sektor konsumsi sebenarnya juga jatuh meski tidak sedrastis komoditas. Itu bisa dilihat dari konsumsi sampo, sabun, dan mi yang turun tipis. Untung, konsumsi kopi justru masih bisa mencatatkan pertumbuhan. “Cuma 5 persen sih, nggak banyak,” ucapnya.
Konsumsi kopi di Indonesia sekitar 1,2 kg per kapita per tahun. Angka tersebut terus naik seiring tren anak muda yang suka ngopi. Ayah empat anak itu mengatakan, 50 persen dari total penduduk Indonesia adalah masyarakat produktif di bawah 30 tahun. Itu adalah potensi besar untuk industri kopi. Sebab, budaya ngopi dan nongkrong tidak hanya ada di kafe di kota-kota besar, tapi juga warung kopi di desa.