Tiongkok Lesu, Komoditas Kian Layu

bandungekspres.co.id– Perlambatan ekonomi Tiongkok belum berlalu. Data turunnya indeks manufaktur menjadi pertanda lesunya ekonomi Tiongkok.

Kunjungan Menteri PPN dan Mentri Perindustrian ke PT PINDAD -
FAJRI ACHMAD NF. / BANDUNG EKSPRES

TINJAU PRODUKSI: Menteri PPN sekaligus kepala Bapenas Andrinof Chaniago (kedua kiri), Menteri Perindustrian Saleh Husein (kedua kanan) saat melakukan kunjungan kerja terkait produksi di PT Pindad, baru-baru ini.

Staf Khusus Wakil Presiden Bidang Ekonomi dan Keuangan Wijayanto Samirin mengatakan, lesunya ekonomi Tiongkok harus menjadi perhatian Indonesia. Sebab, Tiongkok adalah mitra dagang utama negeri ini. ”Imbas langsungnya adalah harga komoditas yang masih akan lemah,” ujarnya kemarin.

Sebagaimana diketahui, menurut data Desember, indeks manufaktur Tiongkok turun di bawah ekspektasi pasar yang sebesar 48,9 poin. Indeks tersebut menyusut 0,7 poin menjadi 48,2 poin. Akibatnya, kondisi yang memburuk itu membuat pasar saham dan mata uang yuan terdepresiasi.

Menurut Wijayanto, karena Tiongkok merupakan salah satu konsumen komoditas terbesar dunia, lesunya ekonomi Negeri Panda itu bakal berimbas turunnya permintaan komoditas pertambangan maupun perkebunan sehingga menekan harga. ”Artinya, sektor pertambangan dan perkebunan belum bisa diandalkan sebagai motor pertumbuhan ekonomi 2016,” katanya.

Meski demikian, papar Wijayanto, Indonesia masih bisa mengandalkan sektor infrastruktur sebagai motor pertumbuhan ekonomi pada 2016. Apalagi, pemerintah menggenjot belanja modal sejak awal tahun. Dengan begitu, multiplier effect terhadap sektor perbankan, industri, maupun daya beli akan cukup tinggi. ”Sehingga target pertumbuhan ekonomi 5,3 persen, rasanya, masih bisa dicapai,” jelasnya.

Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus D.W. Martowardojo mengungkapkan bahwa pihaknya terus mewaspadai dampak yang terjadi gara-gara intervensi atas yuan.

Dia menjelaskan, kebijakan pemerintah Tiongkok untuk mendevaluasi yuan 0,5 persen membuat pasar uang global ber­gejolak dan berimbas ke aliran modal di Indonesia. ”Itu devaluasi yang tajam karena terakhir kali yuan didevaluasi dengan sangat besar pada Agustus 2015,” ujarnya.

Dia mengungkapkan, langkah devaluasi yuan membuat pasar modal Tiongkok dihentikan sementara hingga dua kali selama pekan ini. Dampaknya, aliran dana di dunia bergejolak. Dana-dana jangka pendek pun mencari negara yang dianggap memiliki aset aman.

Tinggalkan Balasan