BEBERAPA waktu lalu, Bandung mendeklarasikan diri sebagai kota pendidikan inklusif. Artinya, seluruh sekolah di Kota Bandung, wajib menerima siswa/siswi yang termasuk anak berkebutuhan khusus (ABK). Pasalnya, selama ini ada kesan ABK kerap dibatasi dalam mengakses dunia pendidikan. Oleh karena itu, sekolah negeri ataupun swasta yang enggan menerima murid ABK, anak dikenai sanksi.
Namun, belum tentu pula ABK mau disekolahkan di sekolah umum. Sebab, sang anak akan kesulitan menerima pelajaran, karena daya tangkapnya berbeda. ”Pola pengajaran untuk ABK juga berbeda dengan pola terhadap murid biasa,” ungkap Sri Ngatun, Guru PKN di SMPN 33 Bandung.
Dia setuju bahwa semua anak yang tinggal di Kota Bandung berhak mendapatkan pendidikan, tidak terkecuali ABK. Namun, perlu dibentuk kelompok khusus untuk mengajar ABK. ’’Pembelajarannya harus dari hati ke hati. Sesuai karakter anak (ABK),’’ ucapnya.
Menurutnya, ada sisi negatif dan positif dari penerapan Bandung Kota Pendidikan Inklusif. Positifnya, ABK yang menimba ilmu di sekolah umum, akan belajar dan banyak memahami apa yang terjadi dengan pergaulan anak seusianya. Bagus untuk percepatan tumbuh kembang mental anak. Namun, perlu disiapkan mental anak-anak yang non ABK supaya bisa menerima dan memperlakukan teman ‘spesial’nya seperti teman biasa.
Sementara negatifnya, akan terjadi bullying jika anak-anak lain tidak mengerti. ’’Anak yang baik-baik saja pun masih ada yang sering di-bully atau dihina. Khawatirnya ini saja,’’ kata Sri yang juga pembina ekskul lingkungan di sekolahnya ini.
Jika di sekolah umum ABK diistimewakan, maka akan menimbulkan kecemburuan. Kemudian, kurikulumnya juga harus mengarah ke pembentukan jiwa dan perilaku-perilaku. Artinya, tidak hanya kognitif, tapi motorik dan afektif juga.
Menurut Sri, pendidikan untuk ABK lebih cocok diterapkan di desa-desa atau pendidikan berbasis alam. ’’Jangan cuma bermain-main, nanti jadi manja. Bawa aja terapi alam, seperti outbond. Kalau gitu kan loncat ya loncat beneran. Nyebur ya nyebur beneran juga,’’ kata dia.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung Elih Sudia Permana mengungkapkan, anak dengan disabilitas bisa masuk sekolah biasa jika secara kognitif anak tersebut mampu beradaptasi. ’’Kalau memang harus ada perawatan khusus, baru masuk sekolah luar biasa,” katanya.