Para pengisi materi Kampus Fiksi datang dari berbagai kalangan yang kompeten. Mulai penulis fiksi, budayawan, sastrawan, redaktur koran, hingga internal Diva Press.
Materi yang diberikan, selain teknik dasar penulisan, adalah pengembangan ide, peka soal tren tulisan yang sedang in, sampai bisnis penerbitan buku. Biaya yang dikeluarkan untuk sekali menggelar Kampus Fiksi reguler bisa mencapai belasan juta rupiah.
Nah, selepas tiga hari pelatihan di markas Kampus Fiksi, proses belajar menjadi penulis tak berhenti. Selama dua bulan, para peserta Kampus Fiksi reguler menjalani bimbingan penulisan secara online dengan editor di Diva Press.
”Kalau naskah dari peserta Kampus Fiksi reguler itu selesai, saya membebaskan mereka buat dikirim ke penerbit mana pun. Nggak harus di Diva Press kok. Kalau malah kemudian diterbitkan penerbit lain, saya bangga,” ucap pria berusia 37 tahun itu.
Selain Kampus Fiksi reguler, ada edisi road show. Kampus Fiksi road show tersebut merupakan bentuk respons kepada mereka yang sudah mengirimkan tulisan untuk ikut Kampus Fiksi reguler, namun tak masuk 20-25 nama yang terpilih. Kampus Fiksi road show berjalan sejak Oktober 2013.
Kampus Fiksi road show sudah mengunjungi banyak kota di Indonesia. Hampir semua bagian di Pulau Jawa telah disambangi. Di luar Jawa, ada Sumenep di Madura dan Makassar, Sulawesi Selatan.
”Kalau permintaan Kampus Fiksi road show dituruti semua untuk didatangi, saya bisa nggak pulang ke rumah dalam setahun,” ucap Edi.
Oktober ini Kampus Fiksi sudah memasuki angkatan ke-14. Untuk Kampus Fiksi road show-nya? ”Sudah lupa. Pokoknya banyak.”
Edi cukup senang ketika gerakan Kampus Fiksi reguler itu merangsang penerbit-penerbit lain untuk melakukan langkah serupa. Malah, semakin banyak yang melakukan gerakan itu, semakin teranglah dunia literasi Indonesia.
”Kampus Fiksi reguler, terus terang, sampai saat ini daftar tunggunya sangat panjang. Daftar sekarang, bisa tahun depan ikutnya. Guyonan saya sama teman-teman, daftar antrenya sudah seperti antre haji,” ujar anak kedua di antara tiga bersaudara itu, lalu tertawa.
Redaktur majalah sastra Horizon Joni Ariadinata yang pernah mengisi Kampus Fiksi reguler angkat jempol terhadap gerakan literasi ala Edi AH Iyubenu itu. Kampus Fiksi yang berjalan tanpa bantuan dana negara tersebut menunjukkan kecintaan Edi kepada dunia sastra Indonesia.