Terpisah, terkait rencana penerbitan peraturan pemerintah (RPP) untuk tambahan hukuman bagi pelaku pedofilia, Kementerian Hukum dan HAM mengatakan masih menunggu daftar inventaris masalah dari kementerian dan lembaga terkait. ”Sampai saat ini kami belum menerima dari instansi pemrakarsa,” ujar Kabiro Humas Kemenkum dan HAM, Ansarudin.
Menurut Ansarudin, cepat atau lambatnya penyusunan peraturan tersebut tergantung banyaknya DIM. Sepanjang yang diketahuinya, RPP yang akan diajukan salah satunya berkaitan dengan ganti rugi terhadap kejahatan yang dilakukan pada anak-anak.
Sesuai Keppres tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah 2015, pemprakarsa RPP wajib melaporkan perkembangan realisasi penyusunan ke Kemenkum dan HAM. Kemenkum dan HAM bertugas memverifikasi dan menyampaikannya ke presiden. Pengajuan RPP di luar program penyusunan peraturan pemerintah bisa dilakukan berdasarkan, kebutuhan UU dan putusan Mahkamah Agung (MA). Sedangkan penyusunan RPP di luar program penyusunan peraturan pemerintah wajib dalam keadaan tertentu yang mendesak untuk dibentuknya PP. Nah peraturan terkait hukuman tambahan bagi pelaku pedofilia itu bisa masuk kategori yang kedua.
Saling lempar tanggung jawab ini sangat disesalkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonsia (KPAI). Ketua KPAI Asrorun Niam Sholeh menegaskan, Perppu ini mendesak untuk segera dirampungkan. Sehingga, bukan saatnya lagi kementerian saling tuding untuk menjadi pionir dalam memulai pembahasan draft tersebut. ”Seharusnya memang Kemenkum HAM yang menyiapkan langkah-langkah konkrit, menyiapkan pranata hukum untuk ini untuk kemudian dibahas bersama kementerian/ lembaga terkait,” keluhnya.
Alasan inventaris yang harus dilakukan, Asrorun mengungkapkan, bila data tersebut telah disampaikan langsung oleh pihaknya pada Presiden Jokowi. Penjelasan rinci tentang daruratnya perlindungan anak juga telah dipaparkan. Dia menyebut, dalam kesempatan tersebut turut hadir pula Menkum HAM. ”Jadi apalagi. Ini harus cepat. Jangan berlarut saja dengan hal-hal itu,” paparnya.
Terkait rencana pengebirian tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) ikut bersuara. MUI berharap pemerintah meminta kajian dari sisi keagamaan terlebih dulu sebelum nanti benar-benar menerapkan aturan tersebut. ”Seharusnya minta fatwa dulu dari MUI. Kalau nanti MUI mengeluarkan yang berbeda dengan pemerintah, kan bisa jadi kontroversi,” tutur Ketua MUI Ma’ruf Amin, usai acara Deklarasi Hari Santri Nasional, di Masjid Istiqlal, kemarin (22/12). Dia menyatakan, MUI senantiasa siap untuk melakukan kajian atas suatu masalah yang dianggap strategis dan penting.