JAKARTA – Di bidang politik pemerintahan, soliditas di internal kabinet dalam satu tahun pemerintahan menjadi salah satu catatan. Kritik yang disampaikan secara terbuka dan ditangkap luas oleh publik dari seorang menteri terhadap rekan sesama menteri lainnya, bisa menjadi pisau bermata dua.
Gambaran masih rawannya soliditas di internal kabinet mulai terbuka secara gamblang, ketika pemerintahan di bawah Jokowi-JK masuk paruh kedua dalam kinerja satu tahun pertama. Di antara yang menonjol adalah ketika Mendagri Tjahjo Kumolo mengungkap tentang keberadaan menteri yang telah merendahkan Presiden Jokowi. Tidak lama berselang, reshuffle kabinet dilakukan untuk pertama kalinya.
Saling serang dan kritik secara terbuka ternyata masih berlanjut. Menko Kemaritiman Rizal Ramli tercatat yang paling sering melakukannya. ”Situasi seperti ini bisa jadi positif, tapi jika tidak cerdas mengemasnya bisa juga justru jadi blunder,” kata peneliti senior Lingkaran Survei Indonesia Toto Izzul Fatah.
Menurut dia, kritik secara terbuka anggota kabinet terhadap rekannya yang memang bisa memberi warna dalam perjalanan pemerintahan. Sekaligus, lanjut dia, juga bisa menjadi tangan presiden untuk mengingatkan salah satu anggota kabinet yang kebetulan memiliki backup politik cukup besar.
”Tapi ingat, jika tidak dikelola dengan baik seperti realitas yang ada sekarang, akan ada kesan kuat kalau presiden belum mampu menampilkan kesan sebagai sosok sebagai strong leader, terutama menghadapi kekuatan politik pendukung saat pilpres,” tutur Toto.
Dia melihat, kalau presiden memang lebih banyak memainkan perannya sebagai penyeimbang kekuatan politik, ketimbang menegaskan dirinya sebagai seorang leader. Konsekuensinya, sejumlah kebijakan terkesan jadi lambat penyelesaiannya. Terutama, yang berhimpitan dengan kepentingan-kepentingan kelompok politik tertentu.
”Gaya diplomasi politik seperti kemarin-kemarin perlu ada perubahan, karena telah dipilih langsung rakyat, harusnya presiden lebih percaya diri membangun komunikasi politik,” imbuhnya.
Dia kemudian mencontohkan tentang keputusan bergabungnya PAN dalam pemerintahan. Menurut dia, kesan kuat yang muncul adalah PAN bergabung karena insiatif sendiri. Atau, bukan karena diplomasi politik dari Presiden Jokowi.
Ketua DPP Partai Golongan Karya Firman Subagyo menilai, situasi kinerja politik pemerintahan hingga saat ini, merupakan sebuah konsekuensi proses transisi. ”Transisi ini kan tidak hanya kepemimpinan, tapi juga kekuasaan dari Partai Demokrat ke PDIP,” kata Firman.