JAKARTA – Bursa Efek Indonesia (BEI) menargetkan nilai transaksi saham rata-rata secara harian bisa mencapai Rp 15 triliun dalam tiga tahun ke depan. Untuk menggapai itu, nilai kapitalisasi pasar saham harus meningkat dari posisi 0,5 persen total bursa global saat ini. Untuk itu, butuh perbaikan regulasi agar upaya mendatangkan emiten baru tidak lagi sulit seperti saat ini.
Market share Indonesia jauh berada di bawah Hongkong, India, Jerman, Korea Selatan, Australia, Singapura, Thailand, dan Malaysia. ”Market share terbesar memang bursa AS. Tetapi, transaksi rata-rata harian terbesar itu bursa Tiongkok. Dalam sehari, transaksi harian di sana setara 1,5 tahun transaksi Indonesia. Tiongkok nggak terkejar. Tetapi, negara di regional, terutama ASEAN, itu masih sangat mungkin kita kejar dalam waktu cepat,” ungkap Direktur Utama BEI Tito Sulistio di DPR Kamis malam (15/10).
Tito menargetkan, transaksi saham rata-rata harian di BEI Rp 15 triliun tercapai dalam tiga tahun mendatang. Syaratnya, harus banyak emiten baru masuk. Terutama, emiten berkualitas. Di antara sekian banyak perusahaan emiten, BUMN paling potentisial. Kapasitas BUMN tidak diragukan sehingga wajar sahamnya yang tercatat di BEI selalu menarik minat investor lokal dan asing.
”Saat ini, di antara 20 emiten BUMN, tujuh menguasai 20 persen market cap. Bahkan, di daftar sepuluh perusahaan terbesar, enam BUMN menguasai 48 persen market cap. Kita masih ada 120 BUMN tambah anak usaha dan cucu hampir 700 perusahaan. Semua besar, semua bagus,” ulasnya.
Privatisasi, lanjut dia, bagaimanapun menciptakan efisiensi. Itu juga akan mendorong BUMN agar lebih baik karena wajib menerapkan good corporate governance (GCG). Hanya, proses mendatangkan BUMN ke bursa tidak mudah. Prosesnya panjang dan potensi gagal sangat besar. Sebelum hadir UU No 19/2003 tentang BUMN, sudah ada 13 perusahaan pelat merah listing. Setelah itu, hingga saat ini, hanya ada tambahan delapan BUMN yang IPO.