KETIKA berada di Singapura bulan lalu, terbaca oleh saya jawaban Perdana Menteri Lee Hsien Loong atas pertanyaan media setempat mengenai Indonesia yang lagi melemah ekonominya. Jawaban itu kurang lebih begini: Di sana lagi meningkat aspirasi nasionalisme. Kalau hal itu bisa diarahkan ke hal-hal yang positif akan menjadi kekuatan yang besar.
Yang lagi jadi buah bibir di sana justru Malaysia. Mereka sangat mengkhawatirkan perpolitikan Malaysia. Mereka khawatir Malaysia masih akan menghadapi tahap seperti apa yang dialami Indonesia di 1998.
Orang Singapura bersyukur ada sultan Johor di Malaysia. Negara bagian yang paling dekat dengan Singapura itu memberikan jaminan keamanan bagi penduduk Malaysia dari ras apa pun. Sultan Johor kelihatannya memang lagi tidak mesra dengan Perdana Menteri Malaysia yang sedang disorot sekarang: Mohammad Najib Razak. Wakil perdana menteri yang dia pecat bulan lalu itu adalah putra Johor.
Singapura, demikian juga Hongkong dan negara-negara Barat, memang mencatat gejala naiknya nasionalisme di Indonesia. Bahkan, ada yang menyebutnya bukan sekadar nasionalisme, melainkan sudah mengarah ke nasionalisme sempit. Kecenderungan nasionalisme sempit itu adalah merasa tidak memerlukan negara lain, anti-negara lain, anti-impor, anti bantuan, antiutang, dan anti-apa saja yang datang dari luar negeri.
Mereka mencatat gejala itu bisa dilihat dengan jelas berkembang di Indonesia. Misalnya, setiap kali pemerintah mengumumkan rencana impor daging atau impor beras atau impor apa saja, sentimen di publik selalu negatif. Demikian juga dengan utang luar negeri.
Bahkan, di saat bencana asap sudah demikian hebatnya pun, masih ada saja pejabat tinggi yang mengatakan begini: kita tidak memerlukan bantuan negara lain. Mungkin dia tidak bermaksud begitu. Tapi, dia tahu, kalau bisa mengatakan hal seperti itu, dia akan mendapat sambutan hangat dari masyarakat.