[tie_list type=”minus”]Pemukiman Kumuh 12 Keluarga Gedebage[/tie_list]
GEDEBAGE – Di tengah gemerlapnya Kota Bandung, ternyata ada dua belas keluarga miskin selama empat tahun menghuni petak tanah kosong milik orang. Mereka saat ini menempati rumah bedeng tidak layak huni di RT 02/RW 05 Kelurahan Cisaranten Kidul, Kecamatan Gedebage.
Dari pantauan, lingkungan kotor dan kumuh terlihat jelas ketika memasuki kawasan tersebut lebih dalam. Bahkan, saking kumuhnya, warga sekitar sering menyebutnya dengan sebutan ’’babakan buana setan”.
Wajar disebut begitu. Sebab, tumpukan rongsokan dan sampah berbau menyengat yang berfungsi sebagai di Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPSS) itu. Bahkan, mereka pun harus tinggal bersebelahan dengan kandang kuda.
Potret kemiskinan ini, dinilai bersebrangan dengan kondisi kawasan Bandung Timur yang sudah mulai berdiri bangunan megah. Bahkan Pemkot Bandung sudah mulai ancang-ancang untuk membuat Bandung Timur menjadi kawasan Bandung Technopolis.
Salah seorang penghuni kawasan itu, Popon, 45. Ibu empat orang anak itu mengaku, pemulung menjadi pilihan hidupnya saat ini. Dia mengais rezeki sebesar Rp 20 ribu per hari, hasil mengepul sampah plastik yang dibayar bandar rongsokan.
”Dia menjelaskan, meskipun pernah ditengok Bu Lurah, tetapi tidak pernah ada tindak lanjut,” kata Popon kepada Bandung Ekspres kemarin (7/10).
”Roda sampah yang dititip di kami itu harga jutaan panginten (kayaknya), tapi kami tidak diperhatikan,” tukas Popon dengan nada memelas.
Dia mengaku, tak tahu harus ke mana kalau pun harus dipindah. Dia juga tidak tahu harus minta tolong kepada siapa. Menempati tanah kosong pilihan terakhir setelah ditinggal meninggal orangtuanya.
”Bila nanti tempat tinggal kami jadi digusur untuk pembangunan jalan tol dan dijual pemilik, saya siap pindah. Eta oge upami pamarentah ngajejehken,“ urai Popon, yang tinggal tepat berhadapan dengan TPS.
Atikah, 54, istri dari Atep Sumirat, 58, pekerja paruh waktu bongkar muat di terminal peti kemas Gedebage mengaku, hidup di bedeng ukuran 3 x 4 meter bersama lima anak dan satu cucu yang sudah yatim piatu. Menjalani keseharian hidup persis berdampingan dengan kandang kuda milik tetangganya, yang mengais hidup dengan belas kasihan orang yang menyewa kreteknya.