NGAMPRAH – Tingginya kasus kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan seksual terhadap anak di Kabupaten Bandung Barat (KBB) membuat pemerintah daerah mengambil langkah strategis untuk mengatasinya. Sebanyak 1.500 keluarga prasejahtera tahun ini diprioritaskan untuk mendapatkan berbagai bantuan guna meningkatkan taraf hidup mereka.
Sekretaris Daerah KBB, Maman Sulaiman Sunjaya menuturkan, dirinya tidak memungkiri penyebab utama KDRT itu ialah faktor ekonomi, akibatnya fungsi dan peran anggota keluarga memudar, sehingga rawan menyebabkan KDRT. Untuk itu lanjutnya, ia membdifik keluarga prasejahtera agar kasus KDRT dapat dikurangi.
”Melalui program Gerakan Perempuan Membangun (Gempungan). Program ini melibatkan sejumlah SKPD yang bertugas menangani berbagai masalah, di antaranya perbaikan infrastruktur, ekonomi, dan rumah tidak layak huni,” tutur Sekretaris Daerah Kabupaten Bandung Barat, Maman Sulaiman Sunjaya belum lama ini.
Ia menjelaskan, bahwa Sasaran program tersebut yaitu para keluarga prasejahtera. Saat ini, tercatat sebanyak 100 ribu keluarga prasejahtera di Kabupaten Bandung Barat. Program ini ditargetkan bagi 1.500 keluarga prasejahtera setiap tahun, dan Program ini juga melibatkan organisasi perempuan.
”Anggaran tahun ini sebanyak Rp76 miliar untuk semua kecamatan di Bandung Barat, program tersebut diharapkan dapat menekan kasus KDRT dan kekerasan seksual terhadap anak,” ujarnya.
Selain program tersebut, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Bandung Barat juga membentuk Pos KDRT. Pos tersebut melibatkan masyarakat untuk melakukan deteksi dini mengenai potensi KDRT di daerahnya.
Berdasarkan data Badan Peemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana Kabupaten Bandung Barat, tahun ini terjadi 22 kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan, 18 di antaranya kasus kekerasan seksual terhadap anak. sejumlah kasus yang terjadi di beberapa kecamatan itu menimpa 52 korban.
Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Anak pada Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana KBB, Nur Julaeha mengungkapkan, sekitar 80 persen dari kasus tersebut memang terjadi pada keluarga prasejahtera. Selain faktor ekonomi, menurut dia, faktor pendidikan yang rendah juga berkontribusi terhadap tingginya kasus KDRT.
”Untuk mengantisipasi kejadian serupa, kami melibatkan mitra kerja dengan organisasi kewanitaan, seperti wanita PGRI untuk sosialisasi kepada masyarakat. Kami juga bekerja sama dengan relawan dan psikolog, dan beberapa yayasan,” pungkasnya. (rdr/jpnn/fik)