Jalan tengah seperti itu pula yang membuat Shoko Yamasaki bisa ikut berpentas. Padahal, seniman boneka dari Jepang tersebut sama sekali tak tahu tentang kisah gubahan Walmiki itu.
Setelah berdiskusi, para penampil lain akhirnya sepakat memberi Yamasaki peran sebagai wujud Rahwana yang sedang menyamar sebagai brahmana tua untuk memancing Sinta. Yamasaki pun berpentas dengan membawa boneka khas Jepang Kuruma Ningyo. ’’Selain itu, dia mengambil peran lain, misalnya sebagai pengawal Sinta saat masih di Kerajaan Alengka,’’ terang Santi yang juga akrab disapa Santi Tejo.
Dengan segala keterbatasan, persiapan terbatas dan kompromi di sana-sini, APA berhasil menggelar pentas yang bisa dinikmati secara universal. Di mata Terrence Tan, keberhasilan tersebut menjadi batu loncatan untuk membawa seni wayang dan boneka Asia Tenggara ke tingkat selanjutnya.
Keberhasilan itu sebenarnya juga sudah terlihat dalam Water of ASEAN yang dipentaskan sebelum Ramayana. Berdurasi sepuluh menit, para pelaku seni wayang dan boneka dari sepuluh negara anggota ASEAN memamerkan warisan budaya masing-masing dengan satu tema: air.
Menurut Tan, pesan dalam pentas tersebut gampang ditangkap karena air adalah simbol yang paling cocok untuk menggambarkan wilayah Asia Tenggara. Air sekaligus menjadi penyambung antarnegara di ASEAN.
Eratnya kesepuluh negara ASEAN bergandengan tangan seperti terlihat dalam Water of ASEAN itu adalah sebuah kemajuan berarti. Sebab, dulu, pada awal masa pembentukan, para seniman boneka Brunei Darussalam sempat menolak saat para koleganya dari Indonesia hendak memperkenalkan wayang.
’’Mereka mengira ini adalah produk Hindu yang tak cocok dengan prinsip mereka sebagai Melayu Islam Beraja (MIB). Tapi, akhirnya mereka juga ikut pementasan tahun ini,’’ terang Suparmin. Dia berharap generasi muda bisa menjadi penerus estafet pelestarian budaya seni boneka. ’’Banyak penampil di pentas kali ini adalah orang muda. Merekalah yang bisa menyelaraskan seni dengan perkembangan zaman,’’ tuturnya. (*/c9/ttg/hen)