’’Tidak apa-apa dianggap ndeso. Sebab, hanya dengan cara ini saya bisa berkontribusi ikut melestarikan bahasa dan kebudayaan Jawa. Biar Jawa tetap dipegang anak-anak muda zaman sekarang,’’ ujar ayah Cindy S. Radji dan Dewi Gracella Radji itu.
Dia mengaku tidak bisa mencari penghasilan dari siaran TV Garuda tersebut. Iklannya kecil. Satu iklan berdurasi satu menit, misalnya, hanya berharga ratusan SRD (Suriname dollar) atau tidak lebih dari Rp 5 juta. Itu pun diputar berulang-ulang. Bandingkan dengan iklan di televisi Indonesia yang harganya ratusan juta sampai miliaran rupiah.
’’Jadi, TV saya ini tidak untuk komersial. Benar-benar untuk mengabdi pada kebudayaan Jawa. Karena itu, mau tidak mau saya biayai dari usaha yang lain, yaitu dari toko sepeda ini,’’ katanya.
Kini Radji sedang pusing. Sebab, pemerintah Suriname mengeluarkan peraturan baru soal program siaran televisi. Menurut ketentuan anyar tersebut, mulai awal 2016, seluruh stasiun televisi di Suriname wajib berpindah format menjadi TV digital. Padahal, untuk ganti format dari TV analog ke digital itu, dia mesti menyiapkan uang hingga USD 200 ribu atau sekitar Rp 2.760.000.000 (kurs USD 1 = Rp 13.800).
Uang sebanyak itu digunakan untuk menyiapkan perangkat keras serta lunak dari Amerika dan Italia. Radji juga harus mengeluarkan dana untuk mendidik 35 karyawan yang semua adalah orang keturunan Jawa itu. Sebab, alih format tersebut membuat semua harus berubah.
’’Nek dipikir ya ngelu ndasku. Tapi, kepiye maneh nek kuwi sing digariske karo pemerintah. Aku ora wani bantah (Kalau dipikir, ya pusing kepala saya. Tapi, bagaimana lagi kalau itu yang digariskan pemerintah. Saya tidak berani menolak),’’ tandas pensiunan pegawai Telesur (Telkom Suriname, Red) itu. (*/c5/hen)