Persisnya di hulu Sungai Pengiyan. Namun peristiwa tersebut tidak berlangsung lama, karena masyarakat sangat membantu memberi informasi pada pemerintah. Sehingga dapat segera diambil tindakan pencegahan.
’’Kalau masyarakat di sini sangat bekerja sama mas. Sebagian kan ada masyarakat Indonesia yang bekerja di sana, nah mereka memberi informasi. Misalnya baru-baru ini, katanya kayu di hutan Malaysia, yang dekat perbatasan, sudah hampir habis. Makanya penjagaan terus kami intensifkan,’’ ujar Nuryanto.
Selain itu, ujar Kopral Kepala AH Susanto yang turut mendampingi sejumlah wartawan meninjau pos lintas batas, masyarakat juga sangat berjasa membantu prajurit meninjau patok-patok batas yang ada.
’’Kalau jalan (patroli mengecek patok batas,red) kami biasa didampingi orang kampung yang biasa berburu,’’ ujarnya.
Meski tugas cukup berat dan akomodasi sangat terbatas, Nuryanto maupun Susanto sama-sama mengakui lebih menikmati bertugas di Long Nawan daripada menjaga perbatasan Indonesia-Papua New Guinea.
’’Kami pernah bertugas di Papua tahun 2009 lalu, lebih aman di sini. Dukanya di sana (Papua,red) banyak yang terkena penyakit malaria. Saya baru sebulan bertugas, sudah kena malaria,’’ ujar Susanto.
Duka lain, para prajurit juga rupanya harus rela meninggalkan istri dan anak tercinta paling tidak hingga sembilan bulan. Untungnya, meski di Long Nawan sinyal lumayan sulit, namun terdapat dua buah menara setinggi sekitar dua meter lebih di sekitar pos lintas batas.
Dari tempat yang dinamakan ’’pondok cinta’’ ini paling tidak mereka dapat melepas rindu dengan orang-orang yang dikasihi.
’’Tapi harus pakai handphone jenis lama mas. Kalau yang keluaran terbaru enggak bisa. Jaringannya sulit. Makanya di malam hari kami mengisi baterai handphone. Kebetulan kami di sini menggunakan solar cell untuk listrik. Jadi kalau panas terik, itu dayanya cukup untuk menerangi dari maghrib sampai subuh. Cuma kalau sedikit mendung, bertahannya sampai jam dua-tiga dini hari,’’ ujar Susanto.
Melihat lebih jauh kehidupan prajurit penjaga perbatasan Indonesia, mereka juga rupanya memiliki jurus jitu melawan dinginnya malam, sehingga dapat tidur nyenyak. Di dalam mess, masing-masing prajurit membangun tempat tidur menyerupai kotak kayu. Hanya di bagian samping terdapat lubang seukuran badan.