Erwin menyadari, meski sudah resmi ditutup oleh Pemkot Bandung pada 2007 lalu, tempat pelacuran itu tetap menjadi polemik. Sebab, warga menilai prostitusi di Bandung masih marak dan kedoknya beragam. ’’Pasti ada pro dan kontra. Tapi kami berharap ada solusi dari Pemkot Bandung dan pihak terkait,’’ tambah Erwin.
Menurut Erwin, banyak pihak merugi dengan ditutupnya Saritem. Momon, seorang mucikari, mengaku kelimpungan dengan ditutupnya Saritem. Sepuluh tahun dia mendapatkan penghasilan dan menghidupi keluarganya dari bisnis esek-esek itu. ’’Saya di sini jadi mucikari sejak 2005. Sebelumnya saya kerja di pabrik,’’ kata Momon memiliki delapan pelacur itu.
Kebutuhan ekonomi jadi alasan Momon bekerja sebagai mucikari. ’’Saya minta solusi untuk usaha, termasuk uang saya, pak,’’ ujar Momon.
Menanggapi semua keluhan itu, Emil punya jawaban sendiri. ’’Bapak dan ibu di sini yang ber-KTP Bandung teh kanyaah saya. Saya harus membantu bapak ibu. Sekarang saya kasih solusi tapi dengan syarat tidak boleh ada lagi praktik prostitusi,’’ kata Emil.
Dia kemudian memberi mandat kepada RT setempat untuk mendata masalah-masalah yang dialami warga Saritem pasca razia yang dilakukan oleh polisi. ’’Coba Pak RT Pak RW catat masalah warga, punya tunggakan berapa dan lain sebagainya. Saya kasih waktu selama lima hari,’’ perintah Emil.
Emil minta warga jujur merinci kerugian yang diderita akibat rumahnya disegel polisi. Selain itu Emil minta merinci kebutuhan mendesak jangan sampai ada anak usia sekolah tidak bisa sekolah. ’’Saya mau bantu tapi dengan syarat tak ada lagi prostitusi,’’ tegasnya.
Emil juga mengingatkan, warga jangan sampai mau diprovokasi oleh orang luar apalagi kembali terlibat bisnis prostitusi. ’’PSK warga Kota Bandung asli hanya dua orang. Jadi, Saritem hanya dieksploitasi, para pendatang mengambil keuntungan dari kegiatan Saritem,’’ kata Emil.
Namun, dalam temu warga tersebut, Pemkot Bandung berencana mengambil alih semua lahan di Saritem. Tujuannya untuk dialihfungsikan kawasannya menjadi pasar tematik. (bbs/tam)