Pada awal berdiri, Qajoo Studio belum membuat game sendiri. Mereka mengerjakan order dari perusahaan game besar, terutama dari Jepang. Salah satunya, mengonversi beberapa game PlayStation (PS) 3 menjadi PS Vita. Pekerjaan itu menjadi tantangan besar karena mengharuskan studionya mengubah game berkapasitas besar menjadi kapasitas kecil tanpa mengurangi kualitas.
Namun, karena terikat perjanjian, Alex dilarang menyebut game apa saja yang pernah dikerjakan. ’’Jadi, produsen Jepang tidak buat di sana karena harganya mahal. Jadi, dilempar ke Singapura, baru ke kami. Jadi, banyak yang kayak kita, cuma tidak kelihatan saja,’’ ujar ayahanda Joshua, 9, dan Isaac, 2, itu.
Banyaknya orang Indonesia yang mendapat limpahan tugas dari produsen game asing itu, pada satu sisi memang membanggakan. Tapi, di sisi lain, hal tersebut membuat Alex resah. Kemampuan menjadi tidak maksimal karena hanya menerima order dari orang lain.
Menurut dia, mengerjakan subproyek dari produsen besar itu memang memiliki risiko kecil karena tetap dibayar sesuai harga, baik dalam kondisi game itu laris maupun tidak. Sebaliknya, membuat game sendiri, selain melelahkan, berisiko uang investasi melayang jika game kurang digemari.
’’Tapi, kita mau mengalir dan terima duit begitu saja atau mau mendaki gunung? Kalau mengalir, lama-lama ke laut dan mungkin terasa enak karena melaju ke arah lebih rendah. Kalau mendaki gunung kan susah,’’ ucapnya.
Mengerjakan game karya orang lain juga berarti membantu produsen asing itu memperkuat karya ciptanya, dan apresiasi bermunculan untuk produsen tersebut. Dengan latar belakang itu, tekad Alex untuk membuat game sendiri semakin kuat. ’’Bukan untuk mendapat apresiasi, tapi kepuasan,’’ tegasnya.
Alex pun mengajak rekan-rekannya di Qajoo Studio untuk berkumpul dan membulatkan tekad itu. Kebetulan, Rieky Wijaya, Ariel, Anggoro Dewanto, Amru Rosyada, Bintang Catur, Yessica, dan Priskila yang tergabung dalam tim itu sepakat. Mereka punya visi yang sama, terutama untuk membuktikan bahwa Indonesia mampu. ’’Kebetulan kebanyakan belum nikah, jadi bisa diajak gila (kerja),’’ candanya.
Alex sebagai pendiri sekaligus investor di tim itu mengajak anggotanya menjadi dewasa, yakni proyeknya tidak main-main. Sampai-sampai, dia menghadirkan trainer untuk melatih tim lantaran belum terlalu paham pola kerja programmer.