Mayo Romandho, Pencinta Musik Penggagas Record Store Day di Indonesia

Namun, tidak sedikit orang yang tidak senang dengan berbagai kemudahan itu. Bagi mereka, menikmati lagu mesti melalui ’’ritual’’ memasang PH atau kaset lebih dahulu. Dengan cara begitu, ada keasyikan tersendiri dalam mendengarkan musik.

Misalnya, yang dirasakan Mayo Romandho, salah seorang penggagas RSD. Pria kelahiran Jakarta itu memberikan wadah bagi orang-orang yang ingin menikmati musik dengan ’’ritual’’ menyetel kaset atau memutar PH.

’’Kami ingin penikmat musik bisa menikmati musik yang sesungguhnya lewat PH atau kaset,’’ ujar Mayo saat ditemui Jawa Pos di keriuhan RSD.

Dia mengakui, kemajuan teknologi memang sangat berpengaruh pada performance band dan pekerja musik saat ini. Mereka tidak lagi disibukkan membuat album musik secara fisik. Ketika ada album baru, cukup dilempar di internet. Konsumen akan berlomba men-download lagu tersebut. Alhasil, karya mereka jadi tidak maksimal. ’’Untuk apa capek-capek membuat lagu bagus kalau hanya begitu? Nggak asyik,’’ ucap Mayo.

Konsekuensi lain kemajuan teknologi adalah semakin maraknya pembajakan. Orang semakin mudah meng-copy sebuah lagu. Dari CD dikopi ke komputer, lalu di-burning ke CD kosong. Sangat mudah.

Kondisi seperti itu membuat gairah untuk menciptakan lagu atau musik yang bagus menurun. Akibatnya, kualitas lagu yang dihasilkan dalam beberapa tahun terakhir dinilai menurun. Paling awal dirasakan di Amerika Serikat, negara tempat munculnya gerakan Record Store Day.

RSD lahir pada 2007. Saat itu industri musik di Negeri Paman Sam sedang berada pada titik nadir. Penjualan kaset, CD, serta PH merosot drastis. Alhasil, banyak toko musik gulung tikar, bangkrut. Penyebabnya, banyaknya situs yang menawarkan free download MP3.

Melihat kondisi itu, para musisi dan penikmat musik Amerika Serikat berkumpul. Mereka bersepakat untuk kembali menggelorakan kecintaannya pada rilisan fisik musik berupa kaset, CD, dan vinyl atau PH. Caranya, membuat bazar musik rekaman yang antara lain menjual peranti-peranti untuk kenikmatan mendengarkan musik itu.

Kondisi di AS merembet di negara-negara lain, termasuk di Indonesia. Maraknya penggunaan internet membuat para musisi kini jadi malas membuat rilisan fisik. Mereka lebih suka meluncurkan lagu di situs lagu berbayar atau nada sambung pribadi (NSP). ”Sekarang tidak ada kebanggaan lagi yang diperoleh para musisi,” ujar Mayo.

Tinggalkan Balasan