Hal ini bisa dilihat dari alat-alat yang mereka mainkan. Semuanya lumrah disebut sampah. Sebut saja, drum minyak, drum air, tong sampah, panci, sekop, pipa paralon, seng, ember bekas cat, dan lain-lain. Tapi, di tangan para personel Tataloe, sampah-sampah itu jadi punya nilai musikalitas yang tinggi.
Arief mengaku, awalnya ‘perangkat’ itu diambil secara sembarangan. Namun, saat ini ada supplier khusus di kawasan Holis. Tataloe sendiri berisi sembilan personel. Selain Arief dan Bocil, ada Dadi, Kadek, Nengah, Tantan, Obeth, Pacem dan Rivandi. Semuanya merupakan musisi.Rata-rata drummer. Arief sendiri merupakan drummer band Cherry Bombshell.
Bercerita mengenai awal dibentuk, Tataloe mulai manggung pada tahun 1999 lalu, oleh mahasiswa Unpas, Fakultas Seni Musik, Jurusan Perkusi. Mereka saat itu berjumlah 35 orang, diminta Pemkot Bandung untuk mengisi acara peringatan Hari Bumi. Hingga kini, jumlah personel memang menyusut. Namun, misi yang dibawa tetap sama. Yakni, meyakinkan masyarakat bahwa sampah adalah sahabat.
Di akhir perbincangannya dengan Bandung Ekspres, Bocil dan Arief mencoba mengklarifikasi sesuatu. Mereka menepis gosip bayaran Tataloe yang terlampau mahal. Gosip ini menyebar di kalangan event organizer yang memang sering mengadakan acara. Padahal, tarif Tataloe tidak semahal itu dan mereka bersedia bermain tanpa dibayar. ’’Kita lihat event-nya dulu. Kalau sosial bisa gratis,’’ pungkas Bocil. (tam)