Sementara itu, untuk mengakali biaya produksi yang membengkak. Oma menjelaskan, salah satu caranya adalah mengurangi jadwal produksi. Itu pun mempengaruhi pendapatan karyawannya. ’’Biasanya seminggu penuh, dikurangi jadi lima hari saja,’’ tuturnya.
Selain itu, hasil produksi sedikir dinaikkan harganya. Namun, yang menjadi persamasalahan minat konsumen untuk membeli.
Sebagai satu-satunya perajin keramik porselen yang tersisa, Oma mengharapkan, keberlangsungan produksi keramiknya terus berjalan. Namun, perlu ada juga dukungan dari pemerintah setempat dalam melestarikan kerajinan yang ditekuninya.
Sejauh ini, Oma mengaku, masih menjadi rujukan dari Balai Besar Keramik untuk para penyuka keramik. Bahkan, pernah dikunjungi oleh konsumen dari luar negeri. ’’Waktu itu pernah ada dari Amerika yang datang ke sini,’’ akunya.
Aktivitas kerajinan yang menjadi karya turun temurun selama 44 tahun berselang, menjadi kebanggaan tersendiri. Bahkan, sudah memasuki generasi ketiga, cucunya. ’’Bisa dibilang saya sebagai cikal bakalnya,’’ guraunya.
Dengan daya produksi yang terbatas, industri kerajinan keramik porselen tidak dapat memenuhi pangsa pasar Internasional. Sejauh ini, penjualan masih mencakup wilayah dalam negeri. ’’Tapi kalau di Bali, katanya ada yang suka beli dari luar negeri. Itu pun bentuknya masih suvenir,’’ tandasnya. (mg2/far)