Harapkan Pemerintah untuk Terus Menggenjot Kinerja
JAKARTA – Dewan Energi Nasional (DEN) menilai kinerja listrik Indonesia masih belum memuaskan. Hal tersebut dilihat dari konsumsi listrik pada 2012 yang hanya mencapai 680 kilo watt per jam (kwh) per kapita. Kondisi tersebut jauh dari tujuan negara Indonesia sebagai negara industri.
Anggota DEN Tumiran menyatakan, pemikiran bahwa konsumsi listrik per kapita yang besar merupakan tanda boros itu tak benar. Menurutnya, negara dengan konsumsi per kapitanya menembus ribuan kwh justru menunjukkan ekonomi yang bagus.
’’Itu menunjukkan kalau listrik dibuat untuk produksi. Seperti di Jepang yang industrinya jalan dan bisnisnya jalan. Kalau di Indonesia kan kebanyakan dibuat untuk konsumsi (rumah tangga),’’ jelas Tumiran, kemarin (20/6).
Jika dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di Asia Tenggara saja, konsumsi per kapita Indonesia masih cukup rendah. Misalnya, negara tetangga Malaysia yang mencapai 4.246 kwh per kapita. Atau, dengan negara Singapura dengan konsumsi per kapita yang mencapai 8.404 kwh per kapita. Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia sendiri belum mempunyai dukungan kuat kepada industri terkait listrik.
Singapura telah menyediakan listrik 10 giga watt (gw) untuk 55,35 juta jiwa. ’’Di Sumatera saja hanya tersedia 5 gw untuk 50 juta penduduk di sana. Itu artinya ketersediaan listrik per jiwa hanya 0,1 kw. Beda signifikan dengan Malaysia yang ketersedian listriknya mencapai 0,9 kw per jiwa. Jauh dari Jepang yang mencapai 2,3 kw per jiwa,’’ terangnya.
Karena itu, dia meminta pemerintah untuk terus menggenjot kinerja industri listrik terutama pembangunan pembangkit listrik. Idealnya, Indonesia perlu mencapai tingkap konsumsi 5 ribu kwh per kapita untuk menjadi negara Industri. ’’Ketersediaannya harus minimal 1 kwh untuk memberikan jaminan kepada masyarakat. Itu kalau Indonesia mau jadi negara industri seperi Jepang,’’ ungkapnya.
Permasalaah yang tersisa adalah bagaimana PT PLN menggenjot kinerja pasokan listrik. Padahal, saat ini saja BUMN tersebut sudah kesulitan memenuhi target. Solusi yang paling cocok menurut Tumiran adalah dengan memotong subsidi energi yang ada. Menurutnya, subsidi tersebut justru merugikan negara Indonesia karena pertumbuhan infrastruktur yang terhambat.