Perludem Minta Tafsir MK Soal Jumlah Putaran Pilpres

JAKARTA-Soal jumlah putaran Pilpres 2014 masih menjadi polemik. Akibatnya, uji materi (judicial review) terhadap Pasal 159 Ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) kembali diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Setelah diajukan oleh Forum Pengacara Konstitusi, kali ini, uji materi pasal tersebut diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini saat mendaftarkan permohonannya di MK mengatakan bahwa penafsiran hakim konstitusi terhadap pasal tersebut penting dilakukan.

Dia menjelaskan bahwa pasal tersebut belum memberikan kepastian hukum terkait jumlah putaran dalam Pilpres 2014 yang diikuti oleh hanya dua pasang calon.

Penting untuk kepastian hukum dan menghindari pemborosan anggaran,” kata Titi kepada sejumlah awak media di lobi MK, kemarin (13/6).

Sebagaimana diketahui bahwa Pasal 159 Ayat 1 UU Pilpres mengatakan, pasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam Pilpres dan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di separuh jumlah provinsi di Indonesia. Menurut Titi, aturan tersebut masih menimbulkan multitafsir.

Menurutnya, aturan tersebut dapat diartikan jika dua pasangan calon capres-cawapres pada Pilpres 2014 nanti tidak meraih suara lebih dari 50 persen dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, Maka Pilpres digelar hingga dua putaran.

Dia mengkhawatirkan, apabila Pilpres dua putaran tersebut terjadi, maka akan menyebabkan pemilih apatis untuk dating ke TPS kedua kalinya untuk memilih salah satu dari dua pasangan calon yang kembali bertarung.

“Manajemen kepemiluan tidak memberikan kemanfaatan bagaimana pemilih kita jika tidak tercapai 50 persen dan sebaran. Mereka mengikuti lagi dengan pasangan yang sama dan kampanye yang sama. Psikologi masyarakat seperti apa. Masyarakat dikhawatirkan apatis,” terang Titi.

Selain itu, Titi menambahkan bahwa ketidakpastian hukum atas ekses yang muncul dari ketentuan tersebut justru memudarkan kedaulatan rakyat.

“Tidak memberikan kepastian hukum dan menjaga kedaulatan rakyat,” imbuhnya.(dod/idr)

Tinggalkan Balasan