Setelah menyelesaikan master di Unpad, Yuni mendirikan kantor notaris di Jakarta. Ketika itu dia tinggal di kawasan Prapanca, Jakarta Selatan. Seiring dengan moncernya pekerjaan, jumlah anak asuh Yuni terus bertambah hingga akhirnya rumahnya tidak cukup untuk menampung mereka. ’’Saya waktu itu berdoa, meminta jalan agar bisa mendapat tempat yang mampu menampung anak-anak asuh yang terus bertambah,’’ ungkapnya.
Profesinya sebagai notaris banyak membantu Yuni untuk mendapat yang dicita-citakan itu. Suatu ketika, ada seseorang yang menawarkan lahan sekitar 1,4 hektare kepada Yuni. Mulanya Yuni menolak. ’’Harganya sangat mahal, sedangkan saya punya tanggungan banyak anak,’’ ujarnya.
Namun, orang itu terus memaksa Yuni. Sampai akhirnya Yuni bersedia membeli tanah di Lebak Bulus tersebut dengan cara mencicil. Selama bertahun-tahun, Yuni mencicil tanah yang kini dikelolanya sebagai kompleks Sekolah Merah Putih itu sampai lunas. ’’Ada saja rezeki yang dikasih Tuhan saat itu,’’ katanya.
Kini setelah 10 tahun sekolah itu berdiri, Yuni tidak lagi mengelola langsung. Dia dibantu banyak orang dekatnya. Selain menjadi pimpinan yayasan, Yuni menjabat guru BP. Pendanaan sekolah pun kini banyak didukung anak kandungnya yang sudah sukses. ’’Saya memang kasih syarat kepada anak-anak dan menantu saya. Kalau mau jadi menantu saya, syaratnya harus mau membantu mengelola sekolah ini,’’ tegasnya.
Obsesi Yuni untuk mengembangkan Sekolah Merah Putih belum usai. Dia masih mengimpikan bisa membangun Universitas Merah Putih. Apalagi lahan di kompleks sekolah masih tersisa lumayan luas. ’’Kalau tidak ada halangan, insya Allah segera dibangun. Doakan lancar, ya,’’ ungkapnya. (*/c5/ari)