Program Deradikalisme Dipertanyakan

Mahfud juga menegaskan insiden bom bunuh diri di Polrestabes Medan bukan karena aparat keamanan ke­bobolan, melainkan tindak terorisme memang selalu hit and run.

“Masa setiap terjadi ke­bobolan? Memang kegiatan terorisme begitu. Main hit and run, lari sembunyi,” kata Mah­fud.

Sebelumnya dia dengan tegas menolak program de­radikalisasi dievalusi. Mahfud justru meminta program ter­sebut diperkuat.

“Nggak (perlu), program deradikalisasi kok dievaluasi, diperkuat saja. Apanya yang perlu di deradikalisasi,” ujar­nya.

Terlebih secara kuantitatif jumlah teroris pada 2019 menurun. Namun, subjek pelaku pengebomanlah yang menurutnya justru meluas.

“Karena kalau dari sudut kuantitatif jumlah teror tahun 2017 dan 2018 jauh lebih tinggi dari tahun 2019. Artinya, tingkat antisipasi sudah oke. Tapi sekarang terjadi perlua­san subjek,” ucapnya.

Dari situ, Mahfud menilai tingkat antisipasi sudah cukup baik. Namun, Mahfud men­gatakan antisipasi harus tetap ditingkatkan.

“Berarti apa, berarti tingkat antisipasi dari keamanan dan intelijen sudah cukup. Ya perlu ditingkatkan tentu saja, tapi sudah cukup bagus,” kata Mahfud.

Kasubdit Kontra Propagan­da Direktorat Pencegahan Deputi 1 BNPT, Kolonel Pas Sujatmiko sebelumnya men­gatakan teroris yang menja­lani program deradikalisasi diberi wawasan kebangsaan dan agama.

“Mereka itu dilaksanakan program deradikalisasi mulai dari identifikasi, pemberian wawasan kebangsaan dan agama. Itu dilaksanakan di dalam Lapas dan di luar Lapas,” kata Sujatmiko.

Selain di dalam Lembaga Pemasyarakatan, program deradikalisasi juga dilaku­kan di ruang yang lain. Misalnya, memberi pendi­dikan wirausaha pada para teroris.

“Kalau di luar Lapas sampai kepada kewirausahaan. Anaknya pelaku teroris kami harus pikirkan juga, itu kita treatment agar mereka bisa tinggal di masyarakat dan jangan sampai terkena radi­kalisme,” sambungnya.

Sujatmiko mengklaim jika program deradikalisasi ter­sebut berhasil. Dari jumlah 632 mantan narapidana, tak satupun yang kembali me­milih jalan sunyi sebagai teroris.

“Kami bisa melihat dari jumlah 632 mantan narapi­dana yang sudah keluar ke­mudian mendapat program deradikalisasi, mungkin bisa melihat siapa yang melaksanakan (terorisme) setelah mendapat program itu? Kita bicara data saja, itu cuma 0,0 persen. Sangat se­dikit,” katanya. (gw/fin)

Tinggalkan Balasan