Tak Perlu Lagi Hidup dalam Kebohongan

Buku nikah tidak keluar dan tidak diterima di pemakaman umum hanyalah sebagian diskriminasi yang dialami para penganut kepercayaan selama ini. Mereka berharap putusan MK segera dieksekusi.

M. HILMI S.- FERLYNDA P.- RIZAL. Jakarta

PAGAR Demanra Sirait kaget. Sebab, tiba-tiba saja mesin pemindai di perusahaan tempat dia bekerja tak mengenali sidik jarinya. Padahal, sudah hampir tiga pekan dia bekerja di perusahaan di Medan, Sumatera Utara, tersebut. Selama itu pula tak pernah ada masalah.

Pergilah Pagar ke HRD (human resources department) perusahaan. Kian kagetlah pria 22 tahun tersebut: ternyata pemicunya adalah kosongnya kolom agama di KTP miliknya.

Pagar memang seorang Parmalim, sebutan untuk penganut Ugamo Malim. Kepercayaan itu, saat Pagar mengurus KTP pada 2015, belum mendapatkan tempat di KTP.

Ketika itu petugas sempat menawarkan untuk menulis Kristen. Tapi, Pagar menolak dan memilih mengosongkannya. Tawaran yang sama kembali dia dapatkan dari perusahaan tempatnya bekerja. ”Tapi, saya tetap menolak hingga akhirnya dikeluarkan,” katanya.

Diskriminasi seperti yang dialami Pagar adalah makanan sehari-hari penganut kepercayaan di Indonesia. Dan jumlah mereka tidak sedikit. Sebab, menurut data Kementerian Dalam Negeri, ada 187 aliran kepercayaan di seluruh Indonesia.

Tapi, kabar baik dari MK Selasa lalu (7/11) bak menjadi pelita di ujung terowongan gelap. MK memutuskan bahwa penghayat kepercayaan bisa masuk dalam identitas kependudukan. Baik kartu tanda penduduk (KTP) maupun kartu keluarga (KK). Di kolom agama nanti tertulis ”penghayat kepercayaan”.

Itu terjadi setelah MK memenangkan gugatan terhadap pasal 61 ayat 1 dan 64 ayat 1 serta pasal 61 ayat 2 dan 64 ayat 5 UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk). Pagar merupakan salah seorang penggugat, bersama Ngaay Mehang Tana (penganut kepercayaan Komunitas Marapu), Arnol Purba (Ugamo Bangsa Batak), dan Carlim (Sapta Darma).

Dengan putusan itu, berakhir sudah hari-hari ketika orang seperti Carlim harus mengaku sebagai pemeluk agama tertentu. Hanya agar hak-haknya sebagai warga negara tak terkebiri.

Siapa pun tahu, tak punya KTP, atau kalaupun punya KTP dengan kolom agama yang kosong, ibarat bom waktu. Buntut ”ledakannya” bisa panjang: kehilangan pekerjaan, pernikahan tak diakui, anak tak dapat akta kelahiran, atau bahkan tidak bisa dikuburkan ketika meninggal.

Tinggalkan Balasan