JABAR EKSPRES – PROGRAM rumah tidak layak huni (rutilahu) di Kota Bandung dinilai belum menjadi prioritas utama pemerintahan daerah, meski persoalan hunian warga miskin masih mendesak. Sementara Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat juga menargetkan wilayahnya bebas Rutilahu pada 2028 melalui berbagai skema renovasi tahunan.
Namun realisasi program kerap jauh dari kebutuhan, terutama karena lemahnya integrasi dengan rencana tata ruang, status kepemilikan tanah yang tidak jelas, dan tidak meratanya penataan kawasan permukiman.
Pengamat tata kota dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Frans Ari Prasetyo menyoroti lemahnya arah kebijakan pemukiman dan tidak konsistennya pemerintah menjalankan rencana tata ruang.
Baca Juga:Alasan Temui Berbagai Kendala, Rutilahu di Jabar Jauh dari Target!Digembar-gemborkan Jadi Prioritas, Program Rutilahu Justru Tersisih di APBD 2025
Kondisi ini membuat program Rutilahu di tingkat kota, termasuk Bandung, lebih terlihat sebagai solusi parsial ketimbang upaya untuk menjamin hak warga atas hunian layak. Menurutnya, pemerintahan saat ini mewarisi perubahan rencana tata ruang dari periode sebelumnya, meski masa berlakunya sesungguhnya belum habis.
“Rencana tata ruang Kota Bandung yang tadinya dari 2011 ke 2031 itu sekarang sudah berubah menjadi tahun 2018 ke 2045. Tapi sudah ada perubahan. Sebelum ini masa pemerintahan sebelumnya,” ujarnya kepada Jabar Ekspres, baru-baru ini.
Perubahan mendadak itu, kata Frans, menimbulkan pertanyaan krusial karena seharusnya rencana tata ruang tetap berlaku hingga 2030. Dia menilai persoalan tata kota tidak cukup diselesaikan dengan mengganti dokumen perencanaan tanpa memastikan implementasinya.
Dirinya menjelaskan rencana tata ruang, rencana detail tata ruang (RDTR), hingga rencana tata bina lingkungan (RTBL) semestinya berjalan beriringan. Bandung, katanya, bahkan belum memiliki dokumen RTBL untuk pemukiman. “Itu harus terintegrasi satu sama lain. Supaya tidak ada yang overlap,” ujar Frans.
Frans menilai kondisi pemukiman di Bandung masih jauh dari kategori kota layak huni. Salah satu indikator yang ia sebut adalah akses sanitasi yang buruk. “Dengan penduduk 2,5 juta jiwa, itu 700 ribu belum punya MCK,” ungkapnya.
Warga, lanjut dia, membuang limbah domestik ke lokasi-lokasi yang tidak seharusnya, termasuk sungai. Situasi itu menunjukkan minimnya progres penanganan kawasan kumuh. “Sepanjang masih ada area kumuh, berarti program pemerintahnya belum bagus,” kata Frans.
