JABAR EKSPRES – Kelompok bersenjata Rapid Support Forces (RSF) di Sudan mengumumkan persetujuan atas gencatan senjata kemanusiaan selama tiga bulan. Keputusan ini disampaikan oleh Komandan RSF, Mohamed Hamdan Dagalo, sebagai upaya untuk memberikan perlindungan lebih baik kepada warga sipil serta menjamin kelancaran penyaluran bantuan kemanusiaan.
“Kami mengumumkan kesepakatan gencatan senjata kemanusiaan tiga bulan untuk meningkatkan perlindungan warga sipil dan memastikan penyaluran bantuan,” kata Dagalo melalui sebuah pernyataan video yang dirilis pada Senin.
Dagalo juga mengungkapkan harapannya agar mediator dari Amerika Serikat, Mesir, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab dapat mendorong Angkatan Bersenjata Sudan agar ikut menyetujui gencatan senjata tersebut.
Baca Juga:Benavidez Kalahkan Yarde Lewat KO dan Pertahankan Sabuk WBCWuling Darion: MPV Elektrifikasi 7-Seater Terjangkau dengan Fitur Mewah
Sementara itu, pada hari Minggu, Ketua Dewan Kedaulatan Transisi Sudan sekaligus pemimpin Angkatan Bersenjata, Abdel Fattah al-Burhan, menanggapi rencana penyelesaian konflik yang diajukan Washington melalui Penasihat Senior AS untuk Urusan Arab dan Afrika, Massad Boulos. Ia menyebut usulan tersebut sebagai inisiatif yang “paling buruk.”
Diketahui bahwa konflik Sudan yang berlangsung sejak April 2023 pada dasarnya merupakan perang saudara yang berakar pada perebutan kekuasaan antara dua tokoh yang awalnya sekutu, yaitu Jenderal Abdel Fattah al-Burhan dari militer Sudan dan Letnan Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo (Hemedti) dari pasukan paramiliter RSF.
RSF, yang bermula dari milisi Janjaweed, telah lama dituduh melakukan kekerasan etnis dan kejahatan kemanusiaan di wilayah Darfur, termasuk serangan terhadap komunitas non-Arab serta perebutan sumber daya strategis.
Sejak konflik pecah, lebih dari 150.000 orang dilaporkan tewas dan sekitar 14 juta warga terpaksa mengungsi, menjadikannya salah satu krisis kemanusiaan paling parah abad ini. Sejumlah negara dan organisasi internasional telah berupaya memfasilitasi dialog perdamaian, namun hingga akhir 2025 tak satu pun menghasilkan kesepakatan yang efektif.
Situasi bahkan kian memburuk setelah kota El Fasher jatuh ke tangan RSF, memicu peningkatan kekerasan di Darfur serta menggagalkan sejumlah gencatan senjata sebelumnya.
Komite Internasional Palang Merah (ICRC) turut memperingatkan bahwa jika konflik ini terus berlanjut, Sudan berisiko besar menghadapi wabah penyakit dan keruntuhan total sistem kesehatan. Amid ini, gencatan senjata tiga bulan yang diajukan RSF dianggap sebagai salah satu harapan kecil untuk meredakan situasi, meski efektivitasnya masih bergantung pada kesediaan pihak militer untuk turut berkomitmen.*
