Alasan Bahasa Belanda Gagal Menjadi Bahasa Nasional Indonesia

Alasan Bahasa Belanda Gagal Menjadi Bahasa Nasional Indonesia
Alasan Bahasa Belanda Gagal Menjadi Bahasa Nasional Indonesia
0 Komentar

Bahasa Melayu sudah lama digunakan di Nusantara dan berfungsi dengan baik sebagai alat komunikasi lintas daerah. Kebijakan VOC untuk menjadikannya bahasa penghubung tergolong unik. Para ahli bahkan menyebut Indonesia sebagai salah satu koloni di dunia yang sebagian besar diatur dengan bahasa non-Eropa. Hal ini menunjukkan betapa berbeda pendekatan VOC dibandingkan penjajah lain: mereka lebih berorientasi pada keuntungan ekonomi daripada menyebarkan bahasa dan budaya sendiri.

Namun, era VOC berakhir pada tahun 1800 ketika perusahaan tersebut bangkrut, lalu kekuasaannya diambil alih oleh pemerintah Belanda. Sejak saat itu, Belanda memegang kendali penuh atas koloni dan mulai memperluas wilayahnya secara lebih agresif. Pada periode inilah muncul perubahan kebijakan bahasa, meskipun warisan kebijakan VOC sebelumnya terbukti sulit untuk diubah.

Setelah mengambil alih, pemerintah kolonial Belanda mulai membangun sistem pendidikan dengan tujuan memperkenalkan bahasa Belanda. Akan tetapi, jumlah sekolah yang tersedia sangat terbatas. Pada tahun 1900, tercatat hanya sekitar 1.500 sekolah untuk puluhan juta penduduk di Hindia Belanda. Sebagian besar merupakan sekolah rakyat dengan bahasa pengantar daerah atau Melayu. Sekolah yang benar-benar menggunakan bahasa Belanda jumlahnya sangat sedikit, dan hanya ditujukan bagi kalangan tertentu, terutama elit pribumi.

Baca Juga:Pengalaman Menggunakan MyBCA, Apakah Lebih Baik dari BCA Mobile?10 Fakta Mengkhawatirkan Game Roblox yang Perlu Diketahui Orang Tua

Kebijakan ini bukanlah kebetulan, melainkan strategi kolonial yang bertujuan mengatur siapa saja yang boleh menguasai bahasa Belanda. Strategi tersebut terlihat jelas pada sekolah-sekolah bergengsi seperti Europeesche Lagere School (ELS) dan Hogere Burger School (HBS). Lembaga pendidikan semacam ini hanya dapat diakses oleh anak-anak Belanda, bangsawan, atau pejabat pribumi. Syarat masuk yang ketat serta biaya yang tinggi membuat rakyat kebanyakan sulit menjangkaunya.

Akibatnya, bahasa Belanda perlahan membentuk citra sebagai simbol status sosial, bukan bahasa umum. Status istimewa ini menjadikan siapa pun yang mampu menguasai bahasa Belanda otomatis dipandang memiliki kedudukan sosial lebih tinggi serta berpeluang memperoleh jabatan penting dalam pemerintahan. Dengan demikian, pemerintah kolonial secara sengaja menjaga jarak sosial antara elit dan rakyat kebanyakan melalui kebijakan bahasa.

Contoh R.A. Kartini sangat tepat untuk menggambarkan pembatasan penggunaan bahasa Belanda di masa kolonial. Kartini berasal dari kalangan bangsawan Jawa dan memperoleh pendidikan yang memungkinkannya fasih berbahasa Belanda. Secara logis, seseorang dengan latar belakang tersebut seharusnya mendapat perlakuan setara, khususnya dalam hal penggunaan bahasa ketika berkomunikasi dengan pejabat Belanda.

0 Komentar