Dalam dunia One Piece, ada Pemerintah Dunia yang memiliki kekuasaan absolut. Mereka dapat membuat aturan sesuka hati, menutup-nutupi kebenaran, bahkan menghapus sejarah. Gambaran ini tak jarang terasa mirip dengan realitas di sini: kebijakan yang tiba-tiba muncul tanpa konsultasi dan tanpa mendengarkan suara rakyat, kasus-kasus yang menguap tanpa kejelasan atau keadilan, serta janji-janji manis di awal yang berakhir pahit.
Para bajak laut dalam One Piece bukan sekadar penjahat. Mereka adalah individu yang memilih jalan sendiri, menolak tunduk pada sistem yang mereka anggap zalim. Mereka memiliki kode etik, impian, dan yang terpenting, kebebasan. Kebebasan untuk berlayar ke mana pun mereka mau. Kebebasan untuk hidup sesuai keinginan, tanpa dikendalikan kekuasaan yang korup.
Di sinilah letak sindirannya. Ketika bendera One Piece berkibar di Indonesia, seakan ada pesan yang ingin disampaikan:
Baca Juga:Harga Mobil Listrik EV Anjlok Makin Murah, Konsumen Rugi hingga Rp180 Juta5 Aplikasi Edit Foto Terbaik 2025 untuk iOS dan Android, Lengkap dengan Fitur AI
“Wahai pemerintah, apakah kalian lupa akan janji-janji kemerdekaan? Apakah kalian lupa akan amanat penderitaan rakyat? Apakah kalian lupa akan cita-cita luhur bangsa ini?”
Ini bukan sekadar soal bendera. Ini adalah simbol. Simbol dari ketidakpuasan. Simbol dari harapan yang belum terwujud.
Saya masih ingat betul, ketika kecil, setiap menjelang 17 Agustus, semangat itu terasa membuncah. Ikut lomba panjat pinang, makan kerupuk, balap karung, semua dilakukan dengan penuh sukacita. Bendera Merah Putih berkibar di mana-mana, dan rasa bangga menjadi orang Indonesia begitu kuat.
Namun kini, ada semacam kekosongan. Semangat itu perlahan memudar, tergantikan oleh rasa skeptis dan pesimis. Mengapa demikian? Karena kemerdekaan yang kita rasakan seakan hanya tertulis di atas kertas. Di lapangan, masih banyak yang belum benar-benar merdeka: merdeka dari kemiskinan, merdeka dari kebodohan, merdeka dari ketidakadilan.
Bendera One Piece mungkin menjadi cara sebagian orang untuk “berteriak”, berteriak tanpa suara, tanpa turun ke jalan. Mereka hanya mengibarkan bendera, namun pesan itu sampai. Pesan bahwa ada yang keliru, ada yang perlu dibenahi. Pesan bahwa rakyat bukan sekadar angka dalam statistik, bukan hanya objek pembangunan. Rakyat memiliki suara, perasaan, dan harapan.
