“Ini harus disiplin. Orang tua cek and check terhadap anak-anaknya kita semuanya,” imbuhnya.
Sementara itu, Kepala DP3AP2KB Kota Cimahi, Fitriani Manan, mengungkapkan bahwa kasus kekerasan seksual masih menjadi kasus dominan di Cimahi. Ia menegaskan pentingnya pendampingan intensif terhadap korban, khususnya anak-anak, untuk mengatasi dampak psikologis jangka panjang.
“Karena memang kekerasan seksual itu kalau tidak kita dampingi, psikologisnya mungkin akan terwawas,” ujar Fitriani.
Baca Juga:Sidak Beras Oplosan di Sejumlah Ritel, Satgas Pangan Polda Jabar Temukan Bahan Pokok Tak Miliki Izin EdarPameran Nasional, Ratusan Pusaka Dipajang di Museum Sri Baduga
Ia menjelaskan, dampak psikologis dari kekerasan seksual bisa bermacam-macam, mulai dari rasa minder hingga munculnya sikap agresif sebagai bentuk pelampiasan.
“Mungkin nanti dia akan minder, atau mungkin kebalikan, dia akan jadi semakin nanggal karena tanggungi,” katanya.
Fitriani menekankan bahwa korban kekerasan seksual harus terus mendapat pendampingan, termasuk dukungan untuk memulihkan kondisi sosial dan psikologis mereka.
“Makanya harus terus didampingi, korban-korban kekerasan seksual itu harus selalu didampingi,” imbuhnya.
Yang mengejutkan, lanjut Fitriani, kasus kekerasan seksual tak hanya menimpa anak perempuan, tapi juga anak laki-laki. Kasus-kasus tersebut banyak terjadi di lingkungan masyarakat kelas bawah, meskipun tidak tertutup kemungkinan juga terjadi di lingkungan sekolah.
“Tapi pernah terjadi di sekolah juga. Jadi untuk mengantisipasi itu, pihak sekolah juga sudah membentuk tim di setiap sekolah,” jelasnya.
Tim pengawasan ini dibentuk di setiap satuan pendidikan untuk mengidentifikasi dan menanggulangi potensi kekerasan sejak dini. DP3AP2KB juga menggandeng Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) untuk menangani kasus-kasus perundungan atau kekerasan non-fisik.
Baca Juga:Wali Kota Bogor Sebut Pasar Gembrong Bebas Beras Oplosan, Begini Respon Pedagang hingga Masyarakat Dinamika Perdagangan RI-AS, OJK Siap Dukung Kebijakan Pemerintah
“Misalnya ada anak-anak yang kalau korban itu ke P2TP2A. Tapi kalau misalnya yang baru dibully-bully yang seperti itu, ya kita ke pusat pembelajaran keluarga,” terang Fitriani.
Namun, tantangan terbesar dalam penanganan kasus kekerasan seksual adalah keberanian korban untuk bersuara.
Fitriani menjelaskan bahwa pelaku kekerasan seksual sering kali merupakan orang dekat, seperti keluarga atau orang di lingkungan sekolah, yang membuat korban merasa takut untuk melapor.
“Nah ini tugas kami, selain mengembalikan fungsi sosialnya, mengembalikan psikologisnya, juga memberikan motivasi untuk kalau memang mau dibawa ke ranah yang lebih tinggi, ke ranah hukum, kami siap mendampingi,” pungkasnya. (Mong)
