Dukung Audit, IAW Soroti Aset yang Tidak Tercatat

Dukung Audit, IAW Soroti Aset yang Tidak Tercatat
0 Komentar

 

“GBK dan SCBD kini menjadi lokasi premium yang justru menghasilkan ratusan miliar hingga triliunan rupiah, namun tidak tercatat sebagai bagian dari kekayaan negara. Ini adalah penggelapan struktural yang sangat merugikan keuangan negara,” tegasnya.

Iskandar menambahkan bahwa data yang dikumpulkan IAW mendukung temuan BPK mengenai ribuan hektare aset negara yang hilang dari pencatatan. Hal itu, menurutnya, kontras dengan laporan kenaikan KN sebesar Rp1.000 triliun yang disampaikan Sri Mulyani.

“Ironisnya, nilai kerugian akibat hilangnya aset strategis tersebut justru mencapai Rp17.450 triliun, jauh melampaui kenaikan KN yang dibanggakan. Tentu hal itu sudah diperhitungkan dengan matang Presiden dan Menkeu,” katanya.

Baca Juga:Lapas Garut Layak jadi Barometer Nasional Pembinaan Narapidana, Begini Penjelasan Kriminolog UIEndus Pelanggaran di 3 Emiten Besar, IAW Layangkan Surat ke BEI

Kondisi ini, kata IAW, menandakan perlunya tindakan tegas dan sistematis dalam bentuk audit forensik nasional. Iskandar menekankan bahwa penyelamatan aset negara harus dimulai dari kawasan paling bernilai, seperti SCBD dan kawasan GBK, yang nilai sewanya diperkirakan mencapai triliunan rupiah per tahun.

“Apalagi, nilai tanah di kawasan SCBD saja sudah mencapai Rp1.200 triliun, dan sewa tahunan GBK–Sudirman diperkirakan mencapai Rp2 triliun per tahun, namun tidak masuk dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP),” lanjutnya.

IAW juga mengungkapkan bahwa modus penggelapan aset negara berlangsung dalam tiga tahap. Pertama, dengan memalsukan dokumen dan menerbitkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) tanpa merujuk pada peta resmi negara. Salah satu contohnya adalah penerbitan HGB Plaza Senayan tahun 1983 yang tidak menyertakan peta dasar tahun 1959–1962.

Tahap kedua adalah kelalaian administratif dari kementerian atau lembaga negara. Sebagai contoh, Kemenpora disebut tidak mencatat sekitar 100 hektare lahan GBK dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP).

Modus ketiga adalah praktik pemberian “fee” dari pengembang properti kepada oknum birokrat, berkisar antara 3 hingga 5 persen dari nilai proyek, guna memperoleh izin atau HGB secara ilegal tanpa proses verifikasi hukum.

Merespons situasi ini, IAW mengajukan lima usulan kebijakan kepada pemerintah. Pertama, Presiden perlu menerbitkan Keppres tentang Audit Nasional Aset Strategis Warisan Sejarah yang difokuskan pada lahan-lahan strategis hasil pembelian negara era 1959–1965.

0 Komentar