JABAR EKSPRES – Toyota menjadi perusahaan yang pernah membawa mobil hibrida ke pasar global, kini tengah mengejar sesuatu yang jauh lebih berani, sebuah masa depan di mana mobil tidak mencemari lingkungan, tidak berhenti mendadak, dan tidak memperburuk kondisi bumi.
Kedengarannya mustahil, tetapi prototipenya sudah ada. Teknologinya bukan lagi soal inovasi baru dalam kimia, melainkan penyusunan ulang seluruh sistem. Dan jika benar, dampaknya dapat mengubah segalanya di jalan raya.
Apa yang Sebenarnya Direncanakan Toyota? Mengapa industri otomotif begitu bungkam terhadapnya? Mungkin karena kendaraan berbahan bakar bensin maupun listrik sama-sama bermasalah. Lihatlah kota mana pun, penuh asap, kebisingan, dan kemacetan. Namun, yang tidak terlihat jauh lebih memprihatinkan, hampir seluruh kendaraan di dunia, yang jumlahnya lebih dari 1,4 miliar unit, masih bergantung pada bensin atau solar.
Baca Juga:Jangan Beli Starlink Sebelum Mengetahui 5 Hal Penting IniFT Group Jalankan Modus Penipuan Investasi Berkedok Aplikasi Penghasil Uang
Memang andal, tetapi juga merusak, bukan hanya bagi lingkungan, melainkan juga bagi kesehatan manusia. Harga bahan bakar melonjak setiap kali terjadi krisis global. Menghirup udara di dekat jalan raya meningkatkan risiko kanker. Dan meskipun kendaraan listrik dijanjikan sebagai solusi yang lebih ramah lingkungan, realitasnya tak seindah itu.
Mengapa Kendaraan Listrik Belum Menjadi Jawaban?
Mobil listrik menjanjikan masa depan yang bersih, motor yang senyap, tanpa emisi knalpot, cukup tancap dan melaju. Namun semakin kita menelusuri, semakin jelas tampak berbagai kelemahannya, terutama pada biaya.
Harga kendaraan listrik saat ini masih jauh lebih mahal dibanding kendaraan berbahan bakar bensin. Penyebab utamanya bukan pada motornya, melainkan pada baterainya. Baterai lithium-ion mahal untuk diproduksi dan lebih mahal lagi untuk ditambang.
Gunung-gunung di Chili dan Bolivia dikorbankan demi mengekstraksi litium. Sementara itu, kobalt yang banyak ditemukan di Republik Demokratik Kongo diambil dengan risiko kemanusiaan tinggi, pekerja anak, kondisi tambang yang berbahaya, dan tanpa pengawasan yang layak.
Belum lagi waktu pengisian daya. Mengisi penuh di rumah bisa memakan waktu hingga setengah hari. Pengisi daya cepat sekalipun masih membuat pengguna harus menunggu jauh lebih lama dibanding mengisi bensin. Untuk penggunaan harian mungkin masih bisa ditoleransi, tetapi untuk perjalanan jauh, menjadi kendala besar. Di banyak wilayah luar kota, infrastruktur pengisian masih sangat tertinggal. Fenomena “gurun pengisian daya” itu nyata.
