Namun, kenyataannya hingga hari ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berkutat di angka sekitar 5 persen. Stabil? Ya. Tapi tidak cukup untuk menopang target penciptaan lapangan kerja sebesar itu.
Selama beberapa tahun terakhir, angka pertumbuhan ekonomi memang tidak banyak bergerak dari kisaran 5 persen. Itu pun sudah dianggap baik di tengah ketidakpastian global, krisis energi, dan konflik geopolitik. Masalahnya, target penciptaan 19 juta lapangan kerja dibangun bukan di atas asumsi pertumbuhan 5 persen, melainkan dari skenario optimistis yang mengandalkan pertumbuhan ekonomi jauh di atas kondisi saat ini.
Sampai sekarang, belum ada tanda-tanda bahwa Indonesia akan menembus pertumbuhan di atas 6 persen. Dalam kondisi seperti ini, ruang untuk menciptakan lapangan kerja secara besar-besaran otomatis menjadi sangat terbatas. Pertumbuhan 5 persen tidak cukup untuk menyerap angkatan kerja baru, apalagi ditambah mereka yang terkena PHK.
Baca Juga:5 Kamera Vlog Terbaik 2025 Kualitas Profesional, Harga TerjangkauPolemik Pernyataan Fadli Zon soal Pemerkosaan Massal Mei 1998 Adalah Palsu
Sektor industri masih melemah, ekspor belum pulih, dan konsumsi rumah tangga menjadi tumpuan utama. Namun, daya beli masyarakat juga mulai tertekan. Akibatnya, penciptaan lapangan kerja menjadi sangat bergantung pada proyek-proyek yang dibiayai negara atau investasi besar, bukan dari dinamika ekonomi yang tumbuh secara alami.
Yang lebih mengkhawatirkan, pemerintah tidak pernah secara terbuka mengoreksi keterkaitan antara target lapangan kerja dan laju pertumbuhan ekonomi. Janjinya tetap 19 juta, lalu direvisi menjadi 8 juta, tetapi fondasi makroekonominya tidak pernah dibahas secara jujur. Seolah-olah angka-angka tersebut bisa berdiri sendiri tanpa konteks ekonomi nasional yang nyata.
Padahal, dengan pertumbuhan ekonomi sebesar ini, sangat tidak mungkin menciptakan 19 juta lapangan kerja baru dalam waktu singkat. Realitas ini seharusnya diakui sejak awal, bukan dikaburkan dengan narasi besar tentang hilirisasi, bonus demografi, atau pembangunan jangka panjang.
Di sinilah terlihat jelas bahwa janji politik tidak pernah diselaraskan dengan kapasitas ekonomi yang aktual. Targetnya tinggi, tetapi fondasinya rapuh. Ketika pertumbuhan ekonomi tidak sesuai ekspektasi, maka lapangan kerja yang dijanjikan pun tidak akan terwujud.
Dan pada akhirnya, publik yang sejak awal diberi harapan kini harus berhadapan langsung dengan kenyataan: struktur ekonomi Indonesia belum cukup kuat untuk menciptakan lapangan kerja dalam skala besar. Yang terjadi justru sebaliknya, persaingan merebut lapangan kerja semakin ketat, sementara angkatan kerja terus bertambah.
