Budaya konsumsi sekali pakai telah memicu siklus konsumsi berlebihan dan kerusakan lingkungan. Karena pakaian cepat dibuang, banyak di antaranya berakhir di pasar barang bekas di berbagai wilayah seperti Afrika, Asia Selatan, dan Amerika Latin. Masyarakat di negara-negara maju menyumbangkan atau menjual kembali pakaian bekas mereka, yang kemudian dikirim dalam jumlah besar ke negara-negara berkembang.
Sayangnya, sebagian besar pakaian yang disumbangkan tidak layak jual karena kualitasnya yang rendah. Meski demikian, pakaian-pakaian ini tetap diekspor ke luar negeri, di mana akhirnya banyak yang menjadi sampah dan mencemari lingkungan setempat, baik di tempat pembuangan akhir maupun di lokasi pembuangan terbuka.
Ekspor pakaian bekas ke Afrika bermula beberapa dekade lalu sebagai bentuk sumbangan amal. Kini, Ghana menjadi salah satu negara importir pakaian bekas terbesar di Afrika, menerima ratusan ton pakaian setiap minggunya. Salah satu dampak paling mengkhawatirkan dari perdagangan ini adalah kerusakan lingkungan yang serius.
Baca Juga:Cara Mencairkan Pinjaman Online SeaBank Pinjam Rp11 Juta dengan Proses Kilat 16 Menit5 Kekurangan Yamaha NMAX Turbo yang Jarang Diketahui, Bikin Ragu Beli?
Sebagian besar pakaian yang dikirim ke Ghana merupakan produk fast fashion berkualitas rendah yang telah usang atau tidak layak dijual kembali. Menurut otoritas pengelolaan limbah setempat, hingga 40% pakaian bekas impor langsung menjadi sampah begitu tiba di lokasi tujuan.
Pakaian yang tidak dapat digunakan ini sering kali dibuang di tempat pembuangan sampah terbuka, saluran air, atau pantai, sehingga menyebabkan pencemaran dan menyumbat sistem drainase.
Pasar Kantamanto yang terkenal di Accra—bukan Agra—sebagai pusat penjualan pakaian bekas, menghasilkan limbah tekstil dalam jumlah besar setiap harinya, sementara fasilitas daur ulang yang tersedia sangat terbatas. Akibatnya, sebagian besar sampah ini berakhir dengan dibakar atau dibuang sembarangan, melepaskan bahan kimia beracun dan mikroplastik ke udara, tanah, serta air.
Meskipun perdagangan pakaian bekas tampaknya menciptakan lapangan kerja di sektor penjualan kembali dan penjahitan, dampak ekonomi jangka panjangnya justru merugikan. Lingkungan yang rusak dan ketergantungan pada barang bekas menghambat pertumbuhan industri tekstil lokal dan memperpanjang ketimpangan global dalam konsumsi dan produksi pakaian.
Masuknya pakaian murah dari luar negeri telah merusak industri tekstil lokal. Ghana, yang dahulu memiliki sektor manufaktur garmen yang berkembang pesat, kini menghadapi kehancuran industri tersebut akibat persaingan dari impor pakaian bekas yang harganya nyaris gratis. Kondisi ini telah menghentikan produksi lokal dan menghilangkan ribuan lapangan kerja.
