JABAR EKSPRES – Di pasar-pasar yang ramai di Agra, ibu kota Ghana, tumpukan pakaian bekas terlihat di berbagai sudut. Pakaian-pakaian ini sering disebut obroni wawu, yang berarti “pakaian orang kulit putih yang telah meninggal”. Sebagian besar pakaian tersebut merupakan hasil donasi atau barang yang dibuang dari negara-negara Barat dan tiba setiap minggu dalam jumlah besar.
Seiring waktu, kegiatan ini berkembang menjadi perdagangan komersial. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada, dan beberapa negara lainnya mengirimkan kelebihan pakaian mereka ke negara-negara seperti Ghana.
Meskipun perdagangan pakaian bekas ini tampaknya mendukung perekonomian lokal dan menyediakan busana dengan harga terjangkau, kenyataannya jauh lebih kompleks dan memprihatinkan. Harga yang murah mendorong masyarakat untuk membeli pakaian secara berlebihan, yang pada akhirnya menambah volume sampah, terutama di negara-negara miskin dan berkembang.
Baca Juga:Cara Mencairkan Pinjaman Online SeaBank Pinjam Rp11 Juta dengan Proses Kilat 16 Menit5 Kekurangan Yamaha NMAX Turbo yang Jarang Diketahui, Bikin Ragu Beli?
Sejarah Industri Pakaian Bekas
Sebelum era Revolusi Industri, fesyen merupakan produk mewah karena seluruh proses pembuatannya dilakukan secara manual dengan detail tinggi. Akibatnya, pakaian dengan desain menarik hanya dapat diakses oleh kalangan tertentu.
Namun, pada tahun 1980-an, muncul era Revolusi Industri yang memperkenalkan berbagai teknologi, termasuk mesin jahit. Sejak saat itu, fast fashion mulai berkembang—menghasilkan pakaian dalam waktu singkat menggunakan bahan berkualitas rendah dan dijual dengan harga murah, sehingga dapat dijangkau oleh berbagai lapisan masyarakat.
Sayangnya, produk fast fashion tidak bertahan lama dan mudah rusak. Misalnya, saat musim panas, industri fast fashion akan memproduksi pakaian musim panas dalam jumlah besar, lalu segera beralih memproduksi pakaian musim dingin ketika musim berganti. Saat ini, banyak industri fast fashion bahkan memproduksi hingga 42 koleksi busana dalam satu tahun.
Fast fashion sangat bergantung pada kain sintetis murah seperti poliester, yang berasal dari bahan bakar fosil. Untuk menjaga harga tetap rendah, banyak merek fast fashion melakukan alih daya (outsourcing) ke pabrik-pabrik di negara berkembang. Proses produksi gaya baru yang cepat dan murah mendorong konsumen untuk membeli lebih sering. Akibatnya, pakaian hanya dipakai beberapa kali sebelum dibuang, yang pada akhirnya menimbulkan limbah tekstil dalam jumlah besar.
