Jadi Tempat Dugaan Pelecehan 8 Santriwati, Pondok Pesantren di Soreang Ini Ternyata Tak Berizin

Ilustrasi pelecehan seksual. (ist)
Ilustrasi pelecehan seksual. (ist)
0 Komentar

JABAR EKSPRES  Pondok pesantren di Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung, yang menjadi lokasi dugaan pencabulan terhadap delapan santriwati, diketahui beroperasi tanpa izin resmi dari Kementerian Agama (Kemenag).

Kepala Seksi Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag Kabupaten Bandung, Agus Salman, menyatakan bahwa lembaga tersebut tidak terdaftar secara resmi dan tidak memenuhi kualifikasi sebagai pesantren.

“Itu lembaga ilegal. Izin operasional pesantren hanya bisa diterbitkan oleh Kementerian Agama. Jadi, klaim sebagai pesantren hanyalah sepihak. Belum tentu layak disebut pesantren,” jelas Agus, Jumat (16/5).

Baca Juga:Soroti Aksi Walk Out PDIP,  Respons Ketua DPRD Jabar: Hak dan Dinamika!Persiapan Pawai Persib Juara 25 Mei, Pemkot Bandung akan Razia Minol Ilegal

Agus menegaskan bahwa pendirian pesantren harus melalui proses validasi dan verifikasi sesuai ketentuan. Pesantren resmi juga akan mendapat pembinaan dan pengawasan berkala dari Kemenag, termasuk dalam aspek perlindungan santri.

“Kalau terdaftar, kami bisa awasi dan bina. Justru kasus-kasus seperti ini sering muncul di tempat-tempat tidak berizin,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa dugaan tindakan asusila ini merupakan tanggung jawab individu pelaku, bukan cerminan dari institusi pesantren yang sah.

“Ini murni ulah oknum. Kalau lembaganya resmi dan diawasi, kejadian semacam ini bisa diminimalisir,” ujarnya.

Pelaku Diamankan Polisi

Sementara itu, Polresta Bandung telah menangkap seorang pria berinisial RR (30), pengurus lembaga tersebut, yang diduga melakukan pelecehan dan kekerasan seksual terhadap delapan santriwati dalam rentang waktu 2023 hingga 2025.

“Tersangka RR merupakan pengurus di tempat belajar keagamaan di wilayah Kecamatan Soreang. Tindak pelecehan ini berlangsung selama dua tahun terakhir,” ujar Kasat Reskrim Polresta Bandung, Kompol Luthfi Olot Gigantara, Rabu malam (14/5).

Menurut Olot, tiga dari delapan korban mengalami kekerasan seksual berupa persetubuhan, sementara lima lainnya menjadi korban pencabulan seperti perabaan dan ciuman paksa.

Baca Juga:Dewan Dorong Pembangunan Bioskop di Cimahi, Respons Antusiasme Warga Terhadap BiolingDemi Jaga Martabat DPRD karena Merasa Dilecehkan Dedi Mulyadi, PDIP Ajak Fraksi Lain Walk Out 

“Tiga korban telah menjalani visum di RS Sartika Asih dan hasilnya sudah kami terima. Lima korban lainnya menjalani pemeriksaan psikologis oleh UPTD PPA,” katanya.

Para korban yang rata-rata berusia 15 hingga 18 tahun saat ini masih menjalani pendampingan psikolog karena mengalami trauma akibat kejadian tersebut.

“Mereka masih dalam proses pemulihan dengan dukungan psikolog dari UPTD PPA,” tambahnya.

0 Komentar