DLH Cimahi Dukung Konservasi Eks TPA Leuwigajah Jadi Hutan Bambu Leuweung Baraya

JABAR EKSPRES – Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Cimahi menyatakan dukungannya terhadap program Wali Kota dan Wakil Wali Kota Cimahi, Ngatiyana dan Adithia Yudhistira, untuk mengonservasi lahan eks Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah menjadi hutan bambu yang diberi nama ‘Leuweung Baraya’.

Proyek konservasi ini akan melibatkan lahan seluas 80 hektare, yang sebelumnya digunakan sebagai TPA oleh beberapa wilayah, termasuk Kota Bandung, Kabupaten Bandung yang kini menjadi bagian dari Kabupaten Bandung Barat, Cimahi, dan sebagian lagi milik Provinsi Jawa Barat.

Kepala DLH Kota Cimahi, Chanifah Listyarini, atau akrab disapa Rini, menjelaskan bahwa program ini akan mengintegrasikan hutan bambu dengan konsep ketahanan pangan.

“Baraya ini hampir 80 hektare, jadi nanti di sana, sesuai arahan Pak Wali Kota Cimahi, selain ada hutan bambu, juga akan ada ketahanan pangan,” ujar Rini saat ditemui Jabar Ekspres di kantornya, Senin (24/2/25).

BACA JUGA: Wacana Menteri LH akan Tutup Paksa TPA Overload, Ini Tanggapan DLH Bandung Barat

Ia menjelaskan bahwa bambu dipilih sebagai tanaman konservasi karena kemampuannya dalam menjaga kestabilan tanah dan air. “Akarnya sangat rapat dan menyebar ke segala arah, ini membuat tanah lebih stabil,” ujarnya.

Bambu juga memiliki keunggulan dalam mencegah longsor, tumbuh cepat dalam 4-5 tahun, serta dapat meningkatkan permukaan air tanah. “Kita sudah merasakan manfaatnya di Cimahi, seperti yang terjadi di Pasar Awi, yang dulunya lahan kritis. Waktu kepemimpinan Ibu Ati, berbagai jenis bambu ditanam di sana,” lanjut Rini.

Kini, menurutnya, masyarakat sekitar mulai merasakan kenaikan permukaan air tanah berkat penanaman bambu. “Dalam 4-5 tahun, efek terhadap permukaan air tanah bisa sangat dirasakan,” tambahnya.

Rini juga menyebut bahwa wilayah tersebut dulunya adalah kawasan hutan yang dikenal dengan nama Leuweung Baladahan, Leuweung Tutupan, dan Leuweung Larangan, yang memiliki mata air yang mengarah ke beberapa gunung. Namun, seiring berjalannya waktu, area tersebut berubah menjadi TPA, dan mata air tertutup oleh sampah.

“Setelah 20 tahun, satu mata air mulai muncul kembali, meskipun pencemarannya masih perlu diperiksa,” kata Rini. Ia juga menambahkan bahwa dalam falsafah Sunda, kawasan Leuweung Larangan seharusnya tidak boleh dirusak, namun pada kenyataannya menjadi tempat pembuangan sampah, yang kini menjadi peringatan bagi kita semua.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan