Riza mengakui, selama perhelatan Pilkada Serentak 2024 Bawaslu KBB mencatat hanya menerima 24 laporan dugaan pelanggaran yang didominasi pelanggaran politik uang dan netralitas aparatur desa.
Namun, laporan yang masuk hampir seluruhnya melebihi tenggat waktu. Hingga akhirnya Bawaslu Bandung Barat tidak dapat memproses persoalam tersebut.
“Dugaan pelanggaran Pilkada yang kami catat sebanyak 24 laporan dan 7 diantaranya tidak kita register karena memang tidak memenuhi syarat formil dan materil,” bebernya.
Baca Juga:ISBI Bandung Larang Pertunjukan yang Berpotensi Timpa Konflik SARA dan PolitikMendengar Protes Kebebasan Seni di Kampus ISBI
“Kemudian, sisanya 14 yang dimana diantaranya temuan. Ini menjadi bahan evaluasi karena rata-rata laporan yang masuk pasca adanya ultimatum. Jadi itu menjadi pekerjaan rumah di dalam penanganan dugaan pelanggaran,” sambungnya.
Selain batas waktu, Riza pun menekankan agar setiap laporan harus disertai dengan bukti-bukti. Sebab, hal itu menjadi kendala pihaknya dalam menangani dugaan pelanggaran dengan waktu yang terbatas.
“Kita pernah satu hari memeriksa saksi untuk klarifikasi itu hampir 20 orang namun tanpa melampirkan bukti. Hal itu membuat efektivitas dan substansi dari laporan yang diajukan berkurang,” ujarnya.
Padahal, tambah Riza, jika masyarakat sudah benar-benar memahami mekanisme laporan dugaan pelanggaran maka substansinya pun akan ada.
“Misalnya ketika melaporkan money politic atau politik uang. Itu harus disertai dengan bukti uangnya. Tapi ini menjadi PR bagi kita untuk mengedukasi masyarakat secara utuh, menyeluruh dan komprehensif,” tandasnya. (Wit)
