Ulama dan Tokoh Jawa Barat Sampaikan Pepeling untuk Gubernur Terpilih,  Begini Isinya!

BACA JUGA: Aliansi Cinta NKRI Purwakarta Tolak Ulama Pemecah Belah

Kaum Muslimin etnis Sunda  di Jawa Barat menerima identitas  Islam dan Sunda sebagai dua eksistensi yang saling mengisi satu sama lain.

Islam menjadi bagian dari identitas Sunda. Islam Nyunda, Sunda Ngislam. Sunda dengan Islam merupakan dua hal yang saling melengkapi antara satu dengan lainnya.

Adalah ungkapan yang penuh  makna, bahwa ngalangkungan Islam Sunda nanjung, ngalangkungan Sunda Islam wuwuh tetep agung (melalui Islam, Sunda berwibawa, melalui Sunda, Islam tetap agung).

BACA JUGA: Habib Ali Ingatkan Nikita Mirzani: Hati-Hati, Daging Ulama itu Beracun, Nanti Hidup Susah

Artinya sebagai gambaran bahwa antara Islam dan Sunda memiliki keterikatan yang tak dapat dipisahkan. Dalam realitas kehidupan masyarakat Sunda, maka akan terasa heran jika ada orang Sunda beragama selain Islam. Sebab, Sunda telah sejak lama ‘branded’  dengan Islam.

Maka,  Islam teh Sunda, Sunda teh Islam (Mang Endang Saefudin Anshary dalam acara Riungan Masyarakat Sunda di Bandung, 1967, Kang Ajip Rosidi,2010) sudah menjadi ruhiah jatidiri Ki Sunda era Islamisasi yang akan mawa Raharja Dunya Akheratna, sebagaimana  masyarakat  etnis  Minang dengan  adagiumnya  Adat Basandi Syara, Syara Basandi  Kitabullah.

Dengan demikian, kami kalangan Ulama dan Tokoh Islam Jawa Barat, memberikan tadzkirah kepada Gubernur untuk senantiasa  mengayomi keimanan dan ketaqwaan rakyatnya yang muslim dengan bimbingan  para Ulama.

Ekspresi jatidiri Sunda di Tatar Sunda, Jawa Barat dengan adagium, silih asah, silih asih, silih asuh,  sejatinya telah mendapat celupan (sibghah)  dengan nilai spiritualitas wahyu  (al Quran) yang menjujung tinggi akhlaqul karimah dalam islam yang sudah dijalankan sebagai living al Quran berabad-abad lamanya.

DPRD Jawa Barat sebagai tempat menyampaikan aspirasi harus memiliki komitmen memperkuat  jatidiri  Ki Sunda yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Dalam menghargai perbedaan, umat islam memiliki sifat seperti  “lebah madu“ yang  berprinsip, moal usik mun teu diosok-osok, bahkan sebaliknya memberikan faedah  dengan madunya dan sengatan serumnya menjadi obat.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan