JABAR EKSPRES – Polisi di Mataram, Nusa Tenggara Barat, tengah mendalami kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan seorang pemuda penyandang disabilitas bernama Agus. Sejauh ini, 13 wanita telah melapor sebagai korban, dan polisi masih memeriksa sejumlah saksi serta mengeksplorasi kemungkinan adanya korban lainnya.
Modus yang digunakan oleh Agus diduga sama pada kedua korban, yakni memanipulasi secara psikologis untuk menekan dan memaksa korban mengikuti kehendaknya. Polisi mengimbau agar korban lainnya tidak takut melapor untuk memastikan penanganan kasus ini dengan baik.
Sementara itu, Agus, yang telah ditetapkan sebagai tersangka dan kini menjalani tahanan rumah, membantah tuduhan tersebut. Dalam pernyataannya, Agus mengaku merasa sangat sedih dan kesulitan menjalani hidup setelah perkara ini menyeretnya. Dia merasa telah menyusahkan keluarganya dan berharap mendapat pembelaan hukum yang adil, terutama karena dirinya juga seorang penyandang disabilitas.
Kasus ini memunculkan polemik di masyarakat, terutama karena sebagian orang merasa sulit menerima kenyataan bahwa seseorang dengan disabilitas bisa melakukan kekerasan seksual. Terkait hal ini, psikolog forensik Reza Indragiri Amril memberikan analisis penting tentang kekeliruan umum yang ada di masyarakat mengenai kekerasan seksual.
Reza menjelaskan bahwa kekerasan seksual, terutama yang melibatkan pemerkosaan, sering kali dipandang hanya dari segi kekerasan fisik. Banyak orang cenderung berasumsi bahwa pelaku kekerasan seksual haruslah seseorang yang memiliki kekuatan fisik luar biasa.
Namun, menurut Reza, kekerasan seksual sebenarnya lebih terfokus pada ketidaksepakatan dua pihak dalam hubungan seksual—di mana salah satu pihak tidak menginginkan kontak seksual namun tetap dipaksa oleh pihak lainnya. Hal ini tetap bisa dilakukan oleh seseorang yang memiliki disabilitas, selama ia mampu melakukan manipulasi psikologis terhadap korbannya.
Manipulasi psikologis tersebut bisa berupa ancaman, intimidasi, atau tekanan mental lainnya yang membuat korban merasa terpaksa. Bahkan, pelaku yang memiliki keterbatasan fisik masih bisa memanfaatkan kecerdasan atau strategi psikologisnya untuk menundukkan korban.
Reza menegaskan bahwa meskipun pelaku memiliki kekurangan fisik, dia tetap bisa melakukan kekerasan seksual jika menggunakan teknik manipulasi psikologis, seperti ancaman atau ajakan yang membuat korban merasa tidak berdaya.