“Menurut saya kita juga perlu ketegasan dari sisi pengawasan dari OJK dan lain sebagainya supaya masyarakat tidak terus-menerus menjadi korban dalam situasi ekonomi yang seperti sekarang ini,” cetusnya.
Terpisah, Pengamat Ekonomi dari Universitas Pasundan (Unpas), Acuviarta Kertabi menyoroti soal langka penindakan hingga sosialisasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dan OJK terhadap modus berkedok investasi bodong.
Pasalnya, Acu sapaan akrabnya menilai, investasi bodong ini akan tetap eksis jika tidak ada langkah tegas baik dari aparat penegak hukum maupun OJK.
“Biasanya investasi bodong ini baru bermasalah ketika ada pihak yang dirugikan. Jadi menurut saya ini adalah persoalan penegakan hukum sehingga penegak hukum harus jemput bola,” ucap dia.
Selain kepada perusahaan atau oknum, Acu menyebut aparat penegak hukum dan OJK juga harus mampu memberikan literasi lebih kepada masyarakat khususnya yang ingin melakukan investasi.
Acu menilai, selama ini belum ada literasi secara maksimal yang dilakukan khususnya terkait dengan ketentuan berinvestasi.
“Kan ini sudah jelas bahwa untuk melakukan investasi ini kan harus tahu perusahaannya resmi atau tidak, terdaftar di OJK atau tidak, perizinannya ada atau tidak. Dan masyarakat ini kadang-kadang tidak tahu seperti itu. Nah ini harus dimaksimalkan lagi literasi kepada masyarakat dan investastor,” ungkapnya.
Beberapa waktu lalu, Mantan Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Prof. Ilya Avianti mengatakan, minimnya literasi keuangan di masyarakat menjadi faktor penyebab maraknya Financial Technology (fintech) dan investasi bodong di Indonesia.
Disebutkan Prof. Ilya, berdasarkan data Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) tahun 2019, menunjukkan Indeks Literasi Keuangan sebesar 38,03% dan Indeks Inklusi Keuangan sebesar 76,19%.
Hal ini menunjukkan masyarakat Indonesia secara umum belum memahami dengan baik karakteristik berbagai produk dan layanan jasa keuangan yang ditawarkan oleh Lembaga Jasa Keuangan Formal.
”Maraknya fintech bodong muncul karena masih minimnya literasi keuangan masyarakat Indonesia,” ucap Prof. Ilya.
Bukan saja literasi keuangan, kata dia, menjamurnya perilaku instan pun menjadi penyebabnya. Ingin mendapatkan keuntungan besar dalam waktu singkat tanpa kerja keras.