Jebolnya Saluran Kirmir di Bantaran Sungai Citepus: Sebuah Kisah Tanah yang Terkikis Waktu

BACA JUGA: Lewat Progam MBG, Pemerintah Siap Turunkan Angka Stunting di Indonesia

Bagi Dede, tanah tempat ia dan keluarganya bertahan selama hampir 40 tahun kini bukan lagi tempat yang aman. Tanggapan alam yang begitu kuat terhadap kerusakan yang telah terjadi memaksa mereka untuk melihat kenyataan yang pahit.

“Dari tahun 1986 di sini. Dulu mah punya mertua. Kan saya dapat istri di sini, nikah tahun 86-an. 2000 itu air bah sedada,” kenangnya, menggambarkan betapa dahsyatnya perubahan yang terjadi.

Kisah ini, meskipun sederhana, adalah gambaran dari perjuangan sehari-hari orang-orang yang hidup di bantaran sungai. Mereka bertahan dengan apa yang ada, meskipun alam tak selalu memberikan kesempatan untuk itu.

Namun, dalam setiap kisah tentang kehancuran, ada juga kisah tentang keteguhan dan harapan—seperti yang tercermin dalam diri Dede yang masih berusaha memperbaiki keadaan, meski sadar bahwa alam tak akan mudah ditundukkan.

Perbaikan bukanlah hal yang mudah, apalagi dengan keadaan alam yang terus berubah. Seperti kata Dede, “Bawahnya sudah berlubang, kopong,” yang menggambarkan betapa sulitnya memperbaiki sesuatu yang telah rusak terlalu dalam.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan