Kampung Bojong Nangka, Sentra Ikan Pindang di Pegunungan yang Pertahankan Resep Tradisional

“Proses penggodokan pakai presto itu 4 jam, kalau pakai kayu bakar bisa sampai 6-7 jam,” terangnya.

Pindang Kayu Bakar dan Pindang Gas

Ramdan menjelaskan bahwa sebagian besar pembuat pindang di Bojong Nangka kini beralih menggunakan gas untuk efisiensi, meski masih ada beberapa yang tetap setia menggunakan kayu bakar.

“Kalau pakai kayu bakar, kita harus tungguin dan atur apinya terus. Tapi kalau pakai gas, tinggal kita tinggalin saja,” katanya.

Menurutnya, pindang yang dimasak dengan kayu bakar memiliki keunggulan karena tidak beraroma amis, sedangkan pindang yang dimasak dengan gas masih sedikit menyisakan bau amis.

BACA JUGA: Mulai Oktober 2024, Rumah Deret Tamansari Bisa Dihuni Secara Bertahap

Dalam sehari, Ramdan bisa membeli ikan sebanyak 50 hingga 70 kilogram, bahkan di akhir pekan jumlahnya bisa meningkat hingga 100 kilogram.

Harga ikan pindang yang dijual pun bervariasi, tergantung dari ukuran dan jenis ikan.

“Kalau yang besar bisa dijual Rp7.000 – Rp8.000 per ekor, kalau yang kecil sekitar Rp5.000,” jelasnya.

Harapan untuk Perluasan Pemasaran

Meskipun produksi ikan pindang di kampungnya sudah berjalan baik, Ramdan berharap pemerintah dapat membantu memperluas jaringan pemasaran produk pindang mereka.

“Harapannya sih pemerintah bisa bantu soal pemasaran, biar enggak cuma jual keliling. Biar bisa dipasarkan ke luar kota juga,” ungkapnya.

Ramdan juga memiliki rencana untuk memanfaatkan jasa marketplace, namun masih terkendala masalah pengemasan.

“Ada sih kepikiran buat jual online atau jadi oleh-oleh, karena ini jalur wisata kan. Cuma masalahnya di packaging, harus pakai vakum,” katanya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan